Saya sering dihadapkan ke situasi yang membuat saya kesulitan untuk menanggapinya. Saya akan berbicara mengenai kesetaraan dan keadilan tiap orang. Pada aspek ini, berada di antara jenis pria dan wanita.
Seperti yang sudah diketahui, perjuangan wanita untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dengan pria sudah dimulai sejak lama. Saya tidak menyangkal, saya mendukung dan setuju dengan perjuangan itu.
Namun, pada suatu hal, saya cukup bingung ketika berada di situasi tertentu. Saya berniat untuk menunjukkan keselarasan antara pola pikir dan perlakuan yang saya berikan tentang perjuangan wanita tersebut.
Seperti contohnya, ketika saya dihadapkan ke situasi yang: saya mendapatkan driver ojek motor online yang berjenis kelamin wanita. Saya bertubuh besar, dan jalanan yang akan saya lalui adalah jalanan ramai dan menanjak. Apakah saya harus menawarkan diri untuk menggantikannya? Jika iya, saya akan dianggap meremehkan kemampuan driver tersebut. Jika tidak, saya khawatir akan terjadi kecelakaan yang tidak terduga yang mungkin terjadi.
Contoh lain: saya melihat seorang wanita yang sedang memikul barang bawaan yang berat. Saya menunggu dirinya untuk meminta bantuan kepada saya. Tetapi, tidak juga diminta. Saya bingung, apakah saya harus menawarkan bantuan atau tidak?
Kedua contoh di atas hanyalah sedikit kasus yang saya hadapi dan saya ingat sekarang ini. Mungkin, masih banyak lagi kasus lain yang memiliki maksud serupa.
Dalam dunia kerja, gerakan perjuangan kesetaraan yang didengungkan wanita bersifat cukup masif. Bagus, memang harus seperti itu, supaya pria-pria yang doyan meremehkan wanita menjadi sadar, bahwa kemampuan antara pria dan wanita itu sama. Gerakan itu juga menjadi pemicu saya untuk dapat berpikiran bahwa pria dan wanita layak mendapatkan kesempatan yang sama. Meskipun, jujur, saya masih kesulitan untuk memandang pria dan wanita layak mendapatkan posisi yang sama pada suatu pekerjaan yang diembannya. Mungkin, saya terbawa pemikiran dangkal bahwa pria memiliki kompetensi yang lebih cekatan daripada wanita. Padahal, saya pun merasa bahwa pemikiran saya itu salah. Perilaku sexism sudah melekat dengan pemikiran saya sejak kecil, itu memang salah. Saya akui. Saya sedang berusaha untuk mengubah pemikiran ini.
Tetapi, jika kita dihadapkan dengan situasi seperti ini: Perdana Menteri Jacinda Andern merupakan pemimpin wanita yang sedang mengandung bayi di tengah-tengah posisinya sebagai kepala pemerintahan. Dia bertugas untuk memimpin pemerintahan, membuat keputusan, berdiskusi, dan berhubungan dengan emosi orang lain. Sekarang, apakah emosi wanita yang sedang mengandung dapat memimpin kepala pemerintahan? Ketika saya meragukan ini, pasti saya dipandang sebagai pria yang tidak mendukung gerakan feminisme. Saya dianggap meremehkan kemampuan Andern. Saya merasa khawatir, Andern mengandung bayi, dia membawa bakal nyawa baru di tubuhnya, tentu gejolak emosi akan memengaruhi dirinya dalam berkoneksi dengan orang lain.
Di media, pria kerap disalahkan sebagai pihak yang sering melakukan sexism. Di dalam lingkup pekerjaan, pria sering ragu jika beban pekerjaannya diberikan ke wanita. Pria akan memberikan prosedur kerja yang lebih rinci, pria akan melakukan re-check secara berkelanjutan terhadap penggantinya. Tentu, itu pemikiran dan perilaku yang salah, karena berarti pria tidak memberikan kepercayakan seutuhnya kepada wanita.
Namun, apakah wanita juga tidak sering melakukan itu? Ketika wanita menyuruh pria menggantikan pekerjaan rumah, seperti: mengurus kebersihan, mengurus anak, dan pekerjaan rumah lainnya. Apakah wanita pun tidak melakukan tindakan insecure serupa, sama seperti ketika pria mengkhawatirkan beban pekerjaannya yang diserahkan di kantor? Sebenarnya, sama saja.
Saya yakin, tidak semua orang berperilaku dan berpikiran seperti uraian saya di atas.
Namun, konflik mengenai kesetaraan merupakan suatu isu penting dan vital, bagi saya.
Namun, konflik mengenai kesetaraan merupakan suatu isu penting dan vital, bagi saya.
Sekarang, pertanyaannya, apakah dapat disimpulkan bahwa uraian di atas merupakan akibat dari perilaku beberapa oknum saja? Bukanlah sebuah fenomena bahwa semua pria sering melakukan sexism, atau sebaliknya. Apakah tidak lebih bijak jika kita memandang, bahwa hanya segelintir pria saja yang sering melakukan diskriminasi terhadap kemampuan antara pria dan wanita. Atau sebaliknya.
Wow sekali
ReplyDelete