Pesona era keterbukaan menjadi primadona masyarakat sipil. Pedoman dan penerapan sistem dengan acuan yang terbuka dan transparan menjadi sering digaungkan belakangan ini. Beberapa kelebihan pun menjadi latar belakangnya, mulai dari adanya sistem kontrol dari pihak luar hingga upaya pencegahan dari kecurangan maupun kelalaian dalam merancang suatu rencana dan/ atau anggaran.
Tiga hari lalu, saya menonton film The Circle yang dibintangi oleh Tom Hanks dan Emma Watson. Saya pikir, film tersebut mendapat skor tinggi dari kritikus film. Ternyata, tidak demikian. Mungkin, itu terjadi karena alur cerita yang tidak selaras dan linear. Jadi, pada pendahuluan film, terdapat beberapa konflik yang masuk menjadi jalan cerita. Namun, ketika cerita selesai, beberapa konflik sebelumnya malah tidak terceritakan dan terpecahkan. Padahal, konflik di pendahuluan film merupakan permasalahan yang related dengan kejadian sekarang.
Dari film tersebut, dibahas tentang sebuah perusahaan teknologi yang bernama The Circle. Mereka memiliki pengguna dengan jumlah yang sangat banyak. Selain itu, mereka menyaring semua data yang dimiliki pengguna, mulai dari riwayat kesehatan, hobi, anggota keluarga, lokasi keberadaan, dan lain-lain [bayangkan raksasa teknologi pada masa kini pun memiliki data pengguna sebanyak apa, pertanyaannya lalu, untuk dipakai apa saja dan untuk siapa? Apakah izin pengguna? Atau angkat tangan dan cuci tangan seperti Pontius Pilatus, lol]. Bahkan, terdapat wacana bahwa pemilihan umum diselenggarakan melalui akun pengguna. Nah, dari situ paham, kan saya akan berbicara ke mana?
Era keterbukaan, ya. Di film itu, ada salah satu politisi yang berkampanye tentang era keterbukaan. Dia menggunakan akun The Circle dan membiarkan konstituennya melihat riwayat informasi, kontak telepon, dan e-mail untuk dibuka secara umum. Mereka menganggap bahwa anti transparansi berarti menyembunyikan kebohongan. Dilanjutkan dari itu, kebohongan merupakan musuh bersama.
Saya ulas mengenai wacana keterbukaan dari film The Circle.
Pertama.
Jika dipikir. Ada benarnya juga. Ketika tidak ada transparansi, pasti ada sedikit kebohongan. Di sini, saya pikir bahwa kebohongan tidak melulu tentang kerugian yang bersifat eksplisit dan berdampak besar bagi orang lain. Bagi saya, tidak mengerjakan kewajiban dengan maksimal pun sudah saya anggap sebagai kebohongan. Misalkan saya seorang politisi, saya sudah diberikan anggaran Rp100.000 untuk menggunakan layanan telepon. Pada batas akhir bulan penggunaan, saya masih menyisakan saldo Rp20.000 kemudian saya gunakan untuk menelepon orang lain demi kepentingan pribadi saya. Jika ada orang lain yang mengetahui hal ini, jelas ini merupakan tindak kebohongan, meskipun tidak merugikan secara tegas, karena masih berada pada batas saldo yang digunakan.
Kedua.
Jika menggunakan sistem dengan era keterbukaan seperti ini, pasti ada yang bertanya, di mana hak privasi? Ingat, hak privasi untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain termasuk dalam derogable rights sehingga dapat dikurangi pemenuhannya.
Ketiga.
Jika pemilihan umum diselenggarakan langsung dari pengguna akun The Circle. Tentu itu mengurangi upaya kecurangan karena semuanya berjalan secara transparan. Namun, selama ini dipandang bahwa memilih dalam pemilihan umum merupakan kebebasan bersikap. Kita bisa bersikap untuk memilih atau tidak memilih. Namun kemudian ada yang bertanya, membayar pajak saja dijadikan kewajiban, mengapa memilih dalam pemilihan umum tidak dijadikan kewajiban? Negara memiliki wewenang untuk mewajibkan warga negaranya mematuhi sesuatu, mengapa memilih saja masih dimasukkan ke kategori hak?
Susah, Pak. Saya stop sampai di sini. Saya tak paham juga enaknya keluar sampai ke mana akhir dari cerita tulisan ini, hehe. Saya darurat sikap politik negara ini, saya butuh pelajaran kewarganegaraan secara komprehensif. Kementerian di bidang pendidikan, tolong.
Tapi, Kamu setuju era keterbukaan seperti apa ini?
Tapi, Kamu setuju era keterbukaan seperti apa ini?
Comments
Post a Comment