Sebelumnya, saya sudah memiliki pandangan dan asumsi tentang hal ini. Asumsi itu timbul akibat fenomena yang terjadi pada saya dan teman-teman di lingkungan saya. Saya hampir yakin, Anda pun pasti pernah mengalami dan mendengarnya. Contoh yang paling mudah untuk dijelaskan adalah ketika saya kesulitan dalam memahami materi perkuliahan di kelas. Dari awal, dosen sudah memberikan buku bacaan atau referensi yang dapat dibaca untuk menunjang mahasiswa mendalami materi yang diberikan. Biasanya, dosen memberikan tiga contoh buku referensi. Bagi mahasiswa, mendapatkan buku-buku tersebut pun tidak sulit, karena perpustakaan kampus memang sudah memiliki buku-buku itu dan bisa dipinjam oleh mahasiswa, sudah sangat mudah.
Dulu, ketika saya masih menjadi mahasiswa baru, saya merupakan salah satu orang yang bermental ambisius. Saya membayangkan perkuliahan adalah sesuatu yang canggih, serba luar biasa. Namanya saja mahasiswa, bukan lagi siswa, melainkan mahasiswa. Jadi, mekanisme berdialektika sudah tentu berbeda ketika masih menjadi siswa. Saya berpikir bahwa mahasiswa harus membaca dan membawa buku tebal. Tidak hanya buku yang tebal, namun buku-buku tersebut harus merupakan buku impor yang dituliskan dengan Bahasa asing. Tapi, berhenti sampai di situ saja, karena itu pemikiran di masa awal saya menjadi mahasiswa. Ketika masa perkuliahan sudah dijalani beberapa bulan, ternyata bayangan saya tentang hal itu sirna.
Awalnya, saya berusaha meminjam buku di perpustakaan. Hampir semua mata kuliah, minimal, saya meminjam satu buku bacaan dari rekomendasi dosen. Namun ternyata, saya tidak juga menggunakannya dengan maksimal. Jika bisa dihitung, mungkin saya hanya membuka buku-buku itu beberapa lembar halaman di awal saja. Mengapa? Saya tidak tertarik, dan berakibat sehingga saya kesulitan untuk memahami. Ternyata, saya tidak sendiri. Teman-teman saya yang lain pun memiliki permasalahan yang serupa. Mereka tidak senang membaca buku bacaan [hard copy] dari perpustakaan. Lantas, saya bertanya kepada mereka, bagaimana cara mereka belajar. Mereka memperkenalkan saya, bahwa YouTube tidak hanya sebagai tempat hiburan, namun juga bisa menjadi tempat belajar. Saya mengikuti mereka. Dan, benar saja. Saya lebih paham tentang materi perkuliahan melalui media visual yang disediakan oleh YouTube. Mungkin, alasan saya menjadi lebih paham adalah bahwa saya tertarik dengan mekanisme pengajaran secara visual. Ketika saya mengerjakan skripsi, saya mempelajari materi uji regresi melalui YouTube. Malah, YouTube menjadi langkah pertama saya ketika kesulitan.
Ternyata, saya memiliki bahan studi pendukung tentang hal itu. Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan sebuah riset dari Pearson. Riset itu mengatakan bahwa GenZ memang memiliki preferensi yang lebih besar pada YouTube atau aplikasi untuk proses pembelajaran dibandingkan generasi Millennials yang lebih memilih buku (printed). Bagi saya, orang yang tidak membaca buku bukanlah orang yang malas. Dunia memang berkembang. Kita tidak bisa dengan seenaknya menilai bahwa orang yang menghabiskan waktunya lebih banyak untuk membaca buku lebih pintar daripada penikmat YouTube. Bagi saya, hal yang paling penting adalah tentang efektivitas penyerapan informasinya, bukan lagi tentang cara atau media penyaluran informasinya.
Lalu, saya semakin yakin dan sadar bahwa ada benang merah yang berhubungan pada fenomena yang terjadi di dunia dan lingkungan saya. Hal ini pun semakin membuktikan alasan jumlah pembaca blog saya berada di nilai rendah dan stagnan. Selain itu, pengguna YouTube pun juga semakin massif. Maka dari itu, sudah cukup bagi saya untuk menulis. Karena, memang di zaman sekarang, orang-orang akan lebih suka dengan visual, bukan lagi teks.
[Catatan: ini adalah terjemahan tulisan saya di LinkedIn]
Comments
Post a Comment