"Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda." - Tan Malaka
Quote di atas sudah sering dibacakan, diceritakan, dan bahkan di-trending-kan. Tanpa bermaksud untuk mengerdilkan orang-orang edgy dan / atau berlatar pemikiran yang luar biasa, makna dari sebuah kalimat itu mampu menempel dan membekas di dalam pikiran saya dengan sangat baik.
Ternyata, saya cukup menikmati perjalanan hidup dari seorang bocah yang tidak mengerti banyak hal, kemudian menjadi remaja yang merasa tahu segala hal, sampai pada titik sekarang; memiliki umur yang hampir bisa disebut dalam psikologi populer sebagai quarter life, namun masih berhasrat besar untuk belajar.
Memiliki idealisme merupakan salah satu keistimewaan dan keberanian yang saya acungi jempol [bukan memiliki makna implisit sebagai salah satu metode kampanye, ya]. Saya mengamini dan mengimani bahwa masa muda atau remaja merupakan masa yang paling menantang. Bagi saya, masa muda yang sudah dilengkapi dengan teknologi dan internet, saya mampu menyerap informasi akan beragam hal secara lebih komprehensif. Tentu, hal itu merupakan salah satu keberuntungan yang cukup menggembirakan untuk generasi saya pada waktu itu.
Saya merasa memiliki kapabilitas untuk menulis tentang entry ini, karena saya meyakini bahwa idealisme merupakan kemewahan yang sangat berharga. Ketika masa muda, atau mari kita samakan persepsi secara lebih sempit; bahwa saya sebut masa muda itu ketika masa masih menjadi pelajar di perguruan tinggi. Saya memiliki beberapa pandangan dan harapan yang radikal akan suatu topik tertentu. Tidak hanya itu, saya juga memiliki keinginan untuk menyempurnakan segala hal yang saya pandang tidak berjalan secara semestinya. Keinginan itu berkobar dan semakin terbakar ketika saya mengetahui ada orang lain yang tidak sependapat dengan diri saya. Bagi saya, idealisme untuk menuju sebuah kesempurnaan yang holistik merupakan visi yang harus dicapai.
Dulu, saya berpikir; idealisme adalah harga mati. Ketika idealisme tidak diperjuangkan, cukup sudah kita labelkan saja dengan sebutan cupu dan juga pengecut. Tentu saja, menjadi pemuda yang berpikiran luas dan bebas merupakan sebuah keistimewaan dan keberanian yang luar biasa.
Namun, dengan perjalanan hidup saya yang kian berubah dan dinamis, saya semakin mengetahui beberapa hal secara lebih luas. Tidak semua idealisme yang saya bayangkan sebelumnya, mampu dilakukan dan diperjuangkan. Bahkan, mungkin hampir semua tidak bisa. Pada titik saat ini, saya kembali mempertanyakan tentang idealisme itu sendiri.
Apakah idealisme hanya sebuah fase jangka pendek yang menghampiri pemuda; yang saat itu mampu berpikiran luas dan bebas? Atau bisa jadi, apakah idealisme merupakan proses menuju jurang pemikiran yang fana, tidak kekal, dan hanya sebatas imajinasi, sekaligus tidak akan pernah bisa diwujudkan dan dimanifestasikan? Atau mungkin, idealisme merasuk ke pemikiran pemuda karena mereka belum mengetahui hal lebih luas? Tidak tahu. Lalu, saya tanyakan lagi, buat apa itu idealisme?
Maka, saya harus kembali menekankan dan meyakini. Buat saya, idealisme merupakan sebuah kemewahan. Saya sangat setuju dengan Tan Malaka tentang hal ini. Hemat saya, ketika kita memiliki pengetahuan yang lebih luas akan suatu hal, sebuah idealisme itu akan menjadi sebuah tujuan yang hampir mustahil untuk diyakini.
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya. Meskipun begitu, saya masih memiliki hasrat dan nafsu yang besar untuk terus belajar. Pertanyaan seperti yang tertera pada entry ini akan selalu menjadi bahan diskusi dan bahasan yang menarik untuk saya.
Comments
Post a Comment