Hai!
Izinkan saya untuk menuliskan tentang hal di bawah ini yang tidak jauh berbeda dari konteks keseragaman.
Izinkan saya untuk menuliskan tentang hal di bawah ini yang tidak jauh berbeda dari konteks keseragaman.
Yaitu adalah, nasionalisme.
Saya yakin, pasti Anda sering sekali mendengar beragam seruan seperti,
"Aku Indonesia"
"Pancasila"
"NKRI Harga Mati"
"Nasionalis"
"Patriot"
"Patriot"
etc.
Note: Ini merupakan cara pandang saya secara pribadi dan subjektif, mungkin berbeda dengan cara pandang orang lain.
Saya tidak setuju dengan cerita heroik bak pahlawan yang sering ditanamkan pada diri saya sedari kecil. Salah satu contoh yang saya maksudkan, adalah pahlawan kemerdekaan.
Saya setuju, mereka sudah memerdekakan negara Indonesia dari campur tangan negara lain [fakta, checked]. Namun, saya melihat ada satu poin kosong yang terlupakan dari glorifying keberhasilan kemerdekaan di situ.
Hemat saya, orang-orang hanya menumpukan pikiran pada keberhasilan dari buah kemerdekaan yang sudah diraih; dari keberhasilan mengusir penjajah dari negara Indonesia, atau mampu membuat orang kulit putih lari dari tanah air.
Sayangnya, tidak ada yang mengulas bahwa para pahlawan itu pun juga melakukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bukan suatu hal yang mustahil, pahlawan kita dahulu juga membunuh orang lain yang bukan merupakan target sebenarnya. Entah disengaja atau tidak.
Ada beberapa hal yang terus mengusik saya dan menjadi tanda tanya, apakah benar semua manusia yang dibunuh merupakan musuh yang ditargetkan? Apakah tidak mungkin, isteri-isteri, anak-anak, dan beberapa kelas orang kulit putih yang hanya menetap di Indonesia ikut terbunuh?
Memang, musuh warga lokal yang pernah menjajah tanah air adalah mayoritas orang asing berkulit putih.
Setelah perang berakhir [misalnya perang di Indonesia pada masa penjajahan], coba dihitung. Berapa banyak dari para pahlawan, sejarawan, dan sumber-sumber terkait yang sudah/pernah menyatakan pengakuan dan memohon rekonsiliasi perihal aktivitas pembunuhan yang dilakukan? Saya belum pernah mendengarnya [atau mungkin saya memang tidak tahu].
Memang, perlu digarisbawahi bahwa perang tidak akan bisa dicampurkan dengan kemanusiaan.
Ketika ada perang di suatu kawasan, akan menjadi omong kosong belaka untuk memperjuangkan kemanusiaan di situ. Karena kedua hal itu sangat berbeda. Meksipun, perang pun memiliki tujuan yang dibela, begitu pun kemanusiaan.
Bagi saya, upaya rekonsiliasi dan pengakuan akan kejahatan yang pernah dilakukan adalah jawaban dari kegelisahan yang mengusik saya.
Saya muak dengan doktrin bahwa pahlawan adalah orang suci, tidak bersalah, dan maha benar.
Muak sekali.
Perlu diingat, mayoritas sejarah dibuat dari sudut pandang pahlawan [yang menang]. Jadi, saya berprasangka bahwa doktrin-doktrin yang memuliakan pahlawan itu sangat berbahaya.
Bisa jadi, pengungkapan rasa bersalah atau permohonan maaf dari salah satu pelaku perang merupakan suatu hal yang sulit. Tentu saja, masing-masing pihak merasa tidak bersalah dan sudah benar memperjuangkan pilihannya.
Namun, paling tidak, sebuah pengakuan bahwa masing-masing pihak sudah melakukan pembunuhan terhadap manusia lain, tanpa terkecuali sengaja atau tidak disengaja membunuh orang-orang yang tidak terlibat perang, mesti dilakukan.
Hal tersebut akan membukakan pikiran masyarakat luas, bahwa perang adalah suatu hal yang sama-sama jahat. Tidak ada yang paling benar.
Semua sama benar dan sama jahat.
Saya setuju, mereka sudah memerdekakan negara Indonesia dari campur tangan negara lain [fakta, checked]. Namun, saya melihat ada satu poin kosong yang terlupakan dari glorifying keberhasilan kemerdekaan di situ.
Hemat saya, orang-orang hanya menumpukan pikiran pada keberhasilan dari buah kemerdekaan yang sudah diraih; dari keberhasilan mengusir penjajah dari negara Indonesia, atau mampu membuat orang kulit putih lari dari tanah air.
Sayangnya, tidak ada yang mengulas bahwa para pahlawan itu pun juga melakukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bukan suatu hal yang mustahil, pahlawan kita dahulu juga membunuh orang lain yang bukan merupakan target sebenarnya. Entah disengaja atau tidak.
Ada beberapa hal yang terus mengusik saya dan menjadi tanda tanya, apakah benar semua manusia yang dibunuh merupakan musuh yang ditargetkan? Apakah tidak mungkin, isteri-isteri, anak-anak, dan beberapa kelas orang kulit putih yang hanya menetap di Indonesia ikut terbunuh?
Memang, musuh warga lokal yang pernah menjajah tanah air adalah mayoritas orang asing berkulit putih.
Setelah perang berakhir [misalnya perang di Indonesia pada masa penjajahan], coba dihitung. Berapa banyak dari para pahlawan, sejarawan, dan sumber-sumber terkait yang sudah/pernah menyatakan pengakuan dan memohon rekonsiliasi perihal aktivitas pembunuhan yang dilakukan? Saya belum pernah mendengarnya [atau mungkin saya memang tidak tahu].
Memang, perlu digarisbawahi bahwa perang tidak akan bisa dicampurkan dengan kemanusiaan.
Ketika ada perang di suatu kawasan, akan menjadi omong kosong belaka untuk memperjuangkan kemanusiaan di situ. Karena kedua hal itu sangat berbeda. Meksipun, perang pun memiliki tujuan yang dibela, begitu pun kemanusiaan.
Bagi saya, upaya rekonsiliasi dan pengakuan akan kejahatan yang pernah dilakukan adalah jawaban dari kegelisahan yang mengusik saya.
Saya muak dengan doktrin bahwa pahlawan adalah orang suci, tidak bersalah, dan maha benar.
Muak sekali.
Perlu diingat, mayoritas sejarah dibuat dari sudut pandang pahlawan [yang menang]. Jadi, saya berprasangka bahwa doktrin-doktrin yang memuliakan pahlawan itu sangat berbahaya.
Bisa jadi, pengungkapan rasa bersalah atau permohonan maaf dari salah satu pelaku perang merupakan suatu hal yang sulit. Tentu saja, masing-masing pihak merasa tidak bersalah dan sudah benar memperjuangkan pilihannya.
Namun, paling tidak, sebuah pengakuan bahwa masing-masing pihak sudah melakukan pembunuhan terhadap manusia lain, tanpa terkecuali sengaja atau tidak disengaja membunuh orang-orang yang tidak terlibat perang, mesti dilakukan.
Hal tersebut akan membukakan pikiran masyarakat luas, bahwa perang adalah suatu hal yang sama-sama jahat. Tidak ada yang paling benar.
Semua sama benar dan sama jahat.
Garis bawah dari tulisan ini adalah, saya mengantisipasi banyak doktrin busuk.
Dengan mengatasnamakan nasionalisme dan dibumbui kecintaan yang luar biasa terhadap pahlawan, banyak orang akan termakan paham untuk membela aspek nasionalisme secara berlebihan, sekaligus membenci musuh pun secara berlebihan [dalam konteks dahulu adalah orang asing berkulit putih].
Saya takut, banyak orang akan menutup diri, dan merasa bahwa warga lokal merupakan sosok yang paling benar, paling mulia, dan paling baik.
Buat saya, kepercayaan yang berlebihan pada warga lokal merupakan tindakan yang sangat berbahaya sekali.
Semua warga; baik warga lokal, warga asing, merupakan entitas manusia yang memiliki indera dan pola pikir. Entitas manusia mampu berpikir, berpasangka, menyusun ide, dan mencelakakan orang.
Tidak ada suatu entitas manusia yang lebih baik atau lebih buruk. Semua sama.
Bayangkan saja.
Dengan menggunakan bumbu nasionalisme [yang tentunya masih kental dan gampang melekat di masyarakat kita], maka, merupakan hal yang mudah sekali bagi satu pihak melakukan provokasi. Terlebih lagi, jika dimaksudkan untuk menargetkan musuh tertentu [bisa warga asing, atau pihak lainnya].
Perlu diketahui, pada zaman perjuangan kemerdekaan saat itu, tidak hanya warga lokal yang membantu, begitu juga pun dengan warga asing [yang juga kulit putih!].
Coba silakan cari di YouTube; Indonesia Calling, ada cuplikan dan bukti bantuan warga asing yang membantu dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Doktrin busuk tidak digaungkan hanya dari politikus saja. Namun, bisa juga dari sisi entertainment; film, buku, dan musik. Seperti kata Heryanto, doktrin tidak hanya rasis, namun juga ideologis. Dan saya sangat setuju dengan pendapatnya.
Maka, saya tidak lagi menganggap nasionalisme adalah hal yang mulia.
Dulu saya berpikir, nasionalisme diperlukan karena saya berharap besar pada warga lokal [yang diharapkan mampu berjuang dengan sunguh-sungguh juga untuk warga lokal lainnya]. Tapi, ternyata tidak seperti itu. Betul-betul harapan yang salah alamat.
Semua orang itu sama saja. Ada orang yang baik, ada orang yang jahat. Tidak ada yang bisa melakukan filter terhadap orang baik dan orang jahat hanya berdasarkan wilayah tempat tinggalnya, bak analogi warga lokal atau warga asing.
Tidak akan pernah bisa.
Dengan menggunakan bumbu nasionalisme [yang tentunya masih kental dan gampang melekat di masyarakat kita], maka, merupakan hal yang mudah sekali bagi satu pihak melakukan provokasi. Terlebih lagi, jika dimaksudkan untuk menargetkan musuh tertentu [bisa warga asing, atau pihak lainnya].
Perlu diketahui, pada zaman perjuangan kemerdekaan saat itu, tidak hanya warga lokal yang membantu, begitu juga pun dengan warga asing [yang juga kulit putih!].
Coba silakan cari di YouTube; Indonesia Calling, ada cuplikan dan bukti bantuan warga asing yang membantu dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Doktrin busuk tidak digaungkan hanya dari politikus saja. Namun, bisa juga dari sisi entertainment; film, buku, dan musik. Seperti kata Heryanto, doktrin tidak hanya rasis, namun juga ideologis. Dan saya sangat setuju dengan pendapatnya.
Maka, saya tidak lagi menganggap nasionalisme adalah hal yang mulia.
Dulu saya berpikir, nasionalisme diperlukan karena saya berharap besar pada warga lokal [yang diharapkan mampu berjuang dengan sunguh-sungguh juga untuk warga lokal lainnya]. Tapi, ternyata tidak seperti itu. Betul-betul harapan yang salah alamat.
Semua orang itu sama saja. Ada orang yang baik, ada orang yang jahat. Tidak ada yang bisa melakukan filter terhadap orang baik dan orang jahat hanya berdasarkan wilayah tempat tinggalnya, bak analogi warga lokal atau warga asing.
Tidak akan pernah bisa.
Comments
Post a Comment