Melihat ke belakang, ke kisaran dua tahun sebelum sekarang, saya merupakan orang yang sangat yakin akan nilai dari hak seseorang.
Saya meyakini, hak merupakan wujud absolut dan mutlak yang melekat ke diri seseorang.
Saya berbicara tentang hak dasar di sini; yaitu ada dua hak yang saya yakini:
1. Hak atas otoritas tubuh diri sendiri
2. Hak atas properti yang sudah secara sah (dan legal) dimiliki
Dulu, saya mengimani bahwa dua hal yang saya sebut di atas ini adalah hak dasar yang wajib dimiliki. Setidaknya, itu yang saya percaya selama berbulan-bulan.
Namun, kemudian saya bertemu dengan rekan yang menantang pemikiran saya itu.
Baginya, hak itu tidak pernah ada. Memercayai hak itu bagaikan memercayai kepercayaan yang bersifat semu.
Mengapa?
Karena menurut dirinya, hak tidak bersifat absolut; dapat berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan oleh pemegang otoritas yang lebih tinggi.
Jadi, pandangan ini seakan-akan menjauhkan hak dasar dari diri seseorang.
Betul saja, sejak itu, saya terombang-ambing.
Beberapa hal yang saya yakini pun, pelan-pelan saya pertanyakan.
Ada contoh; hak sebagai pekerja di sebuah perusahaan menjadi bahan diskusi yang menarik.
Mengapa?
Segala keyakinan yang saya miliki sebelumnya, bak tergerus oleh peran teknologi.
Dengan dalih sistem dan teknologi yang modern, hak atas otoritas tubuh menjadi sasaran.
Dengan dalih sistem dan teknologi yang modern, hak atas otoritas tubuh menjadi sasaran.
Silakan dibayangkan.
Ada wacana untuk mewajibkan pekerja mengenakan alat detektor yang mampu berfungsi juga bagaikan jam tangan. Jadi, alat detektor tersebut dapat mendeteksi apakah seseorang beristirahat atau tidak, yang terukur melalui parameter denyut jantung.
Perlu diberi garis bawah, wacana itu mungkin bersifat kewajiban.
Lantas, saya mempertanyakan hal ini, apakah ini melanggar hak atas otoritas tubuh diri sendiri?
Pertama, dengan menggunakan alat detektor tersebut, akan ada record data di waktu pukul berapa dirinya beristirahat, tidur, atau melakukan aktivitas lainnya. Ini menunjukkan bahwa history aktivitas yang dilakukan oleh pekerja itu, akan dilihat dan didata oleh pihak terkait.
Ketika Kamu membaca bahasan pertama ini, saya menduga pasti banyak yang berpikiran jika hak pekerja tersebut dilanggar.
Namun, jika dilanjutkan dengan bahasan selanjutnya.
Kedua, wacana itu mungkin akan menjadi kewajiban.
Tetapi, kewajiban yang dimaksud akan termanifestasikan dalam bentuk aturan formal yang dibakukan. Ketika sebuah aturan formal dibuat, akan ada tahap yang dilalui oleh pekerja. Pekerja tersebut dengan sadar dan tanpa paksaan, sudah memahami dan mengerti dampak dari pemberlakuan aturan; dan juga akibat dari penggunaan alat detektor tersebut.
Jadi, tidak ada unsur paksaan secara eksplisit di situ.
Lalu, apakah ini melanggar hak?
Apa pendapat Kamu ketika membaca bahasan kedua ini?
Perlu untuk diketahui,
Pada tulisan ini, saya masih berpegang dengan cara dan pola pikir yang kaku, yaitu berdasarkan bukti autentik secara eksplisit, tanpa mempertimbangkan aspek sosiologis dan hal sejenis lainnya.
Mengapa?
Karena bahasannya akan berkembang sampai ke permasalahan struktural.
Bagaimana mungkin? Iya, karena pekerja memang masih membutuhkan pekerjaan, dan perusahaan memang secara legal dan sah memiliki hak untuk menerapkan program-program yang dirasa menguntungkan baginya.
Pekerja itu bisa memilih untuk tidak setuju dengan wacana tersebut dan mencari perusahaan lain. Itu bisa saja, itu sah. Namun, apakah pekerja itu mampu mencari perusahaan lainnya? Lalu akan muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya, begitu, dan seterusnya.
Jika kita menatap kembali ke awal tulisan ini.
Apakah hak itu ada?
Atau hak akan tunduk oleh pemegang otoritas yang lebih tinggi?
Atau penjelasan dan definisi akan hak perlu dipersempit sampai di batas tidak ada paksaan secara eksplisit saja?
Hahaha.
Comments
Post a Comment