Saya memohon maaf sebelumnya.
Dengan terang, saya menjelaskan bahwa saya tak memiliki atensi untuk menyinggung dan membahas tentang sesuatu dan siapa.
Tulisan yang Anda baca di sini tidak memiliki intensi untuk menuduh, menyerang, dan mencemarkan orang lain seperti yang tertuang dalam Pasal 310.
Dengan terang, saya menjelaskan bahwa saya tak memiliki atensi untuk menyinggung dan membahas tentang sesuatu dan siapa.
Tulisan yang Anda baca di sini tidak memiliki intensi untuk menuduh, menyerang, dan mencemarkan orang lain seperti yang tertuang dalam Pasal 310.
Namun, tidak ada salahnya juga bagi saya untuk menuliskan dan menceritakan sedikit saja perihal apa yang saya rasakan belakangan ini.
Sedikit kekesalan.
Sedikit kekesalan.
Tulisan saya di bawah ini masih seputar pandemi Covid-19; yang ternyata tidak kunjung selesai menjadi bahasan hangat di kuping saya selama lebih dari enam puluh (60) hari.
Bagi Anda yang sedang membaca tulisan ini; terutama bagi Anda yang tinggal di seputaran Jakarta, Covid-19 sudah menjadi santapan awal, tengah, dan akhir dari sebuah perhelatan panjang di setiap bagian percakapan [dalam] meeting kantor; sejak saya mulai memelekkan mata usai terbangun dari tidur, hingga saat saya hendak memejamkan mata, publik seakan tidak pernah melepas pembicaraan bertemakan hal ini.
Sepertinya, pada tulisan ini, akan terkesan bagai keluhan yang mengesalkan. Mengapa? Tentu saja. Rasanya bak merengek serta benci dengan kondisi existing yang menimpa diri saya.
Saya heran, ganjil.
Saya resah, rusuh hati.
Saya tidak suka.
Adanya wabah serta pandemi ini tentu mengaburkan dan mengganggu produktivitas. Pandemi yang terjadi pun juga menggeser aktivitas existing kita selama ini. Dari yang sebelumnya terbiasa berkomunikasi secara tatap muka secara langsung tanpa media apa pun dengan orang lain, harus diganti dengan tatap muka melalui media Ms. Teams; dari yang sebelumnya membiasakan diri untuk berpelukan dan berciuman dengan kekasih, harus membatasi diri dengan puasa bertemu dari melakukan hal tersebut; dan masih banyak contoh lainnya lagi.
Nah, dari menurunnya produktivitas itu, secara kasatmata pun dapat dengan mudah dilihat, dirasa, dan dinilai bahwa segala hal mungkin tidak dapat terlaksana sesuai dengan target dan rencana yang sudah dibuat sebelumnya.
Hal itu sudah pasti, sudah jelas.
Memang betul, kita memiliki obligasi dan kewajiban untuk mewujudkan rencana sesuai dengan target yang sudah dibuat.
Namun, pada kenyataannya adalah pandemi ini datang secara tiba-tiba, dengan segera menyerang segala aktivitas di hidup kita, dan menghilangkan selera kita dari nuansa semangat untuk memberikan delivery yang outstanding dalam sebuah pekerjaan.
Dampak dari pandemi ini pun tidak hanya menyerang sekelompok orang saja, namun sampai ke semua orang dalam regional tertentu, khususnya adalah region Jakarta.
Namun, pada kenyataannya adalah pandemi ini datang secara tiba-tiba, dengan segera menyerang segala aktivitas di hidup kita, dan menghilangkan selera kita dari nuansa semangat untuk memberikan delivery yang outstanding dalam sebuah pekerjaan.
Dampak dari pandemi ini pun tidak hanya menyerang sekelompok orang saja, namun sampai ke semua orang dalam regional tertentu, khususnya adalah region Jakarta.
Lalu, yang saya permasalahkan adalah ketika kita sudah tahu bahwa ada wabah dan pandemi yang terjadi sedemikian rupa; bahwa ada pandemi yang mengganggu aktivitas kita; mengapa masih ada saja orang yang merasa bahwa semua hal masih berjalan baik-baik saja.
Masih ada orang yang tidak menurunkan ekspektasinya; masih beranggapan bahwa semua target, rencana, dan ekspektasi mampu diwujudkan menjadi hasil yang sama.
Masih ada orang yang tidak menurunkan ekspektasinya; masih beranggapan bahwa semua target, rencana, dan ekspektasi mampu diwujudkan menjadi hasil yang sama.
Menyakitkan.
Menurut saya, itu menyakitkan.
Mengapa? Terutama jika orang yang saya maksud tersebut masih memberikan permintaan yang keras dan kuat, serta menuntut ke orang lainnya yang notabene sedang berada dalam kondisi pedih secara langsung akibat pandemi ini.
Menurut saya, itu menyakitkan.
Mengapa? Terutama jika orang yang saya maksud tersebut masih memberikan permintaan yang keras dan kuat, serta menuntut ke orang lainnya yang notabene sedang berada dalam kondisi pedih secara langsung akibat pandemi ini.
Entahlah, saya tidak tahu apa yang menyebabkan orang-orang masih memiliki ekspektasi yang sama.
Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Saya tidak habis pikir.
Saya ragu, saya pun masih ragu, apakah perilaku ini dimaksud dengan berperilaku positif? Berperilaku positif karena memiliki rasa optimis yang tinggi.
Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Saya tidak habis pikir.
Saya ragu, saya pun masih ragu, apakah perilaku ini dimaksud dengan berperilaku positif? Berperilaku positif karena memiliki rasa optimis yang tinggi.
Itu mungkin benar.
Namun, saya rasa tidak juga.
Namun, saya rasa tidak juga.
Saya tidak merasa hal itu dapat dibenarkan.
Bagi saya, bisa saja orang-orang ini dapat dikelompokkan sebagai orang dengan perilaku yang tidak tahu diri, egois, dan tak memiliki empati.
Menyakitkan sekali.
Masih banyak sekali orang yang tidak tahu dan tidak paham tentang kondisi orang lain.
Masih banyak sekali orang yang menganggap pandemi Covid-19 ini tidak memiliki cukup kuasa yang mampu menyebabkan banyak orang kesulitan.
Masih banyak sekali orang yang tidak tahu dan tidak paham tentang kondisi orang lain.
Masih banyak sekali orang yang menganggap pandemi Covid-19 ini tidak memiliki cukup kuasa yang mampu menyebabkan banyak orang kesulitan.
Banyak sekali.
Memang betul.
Manusia itu penuh akan keterbatasan.
Bebal.
Sukar untuk mengerti.
Ketika sendirinya belum merasakan sesuatu secara langsung, perasaan empati hanya omong kosong belaka.
Empati hanya enak menjadi bahan yang dibicarakan, namun tidak lezat jika hendak disantap.
Mohon maaf, kata yang tepat mungkin bukanlah tidak lezat, tapi tidak bisa dimakan, alias memang tidak mampu dan tidak dapat dirasakan.
Mohon maaf, kata yang tepat mungkin bukanlah tidak lezat, tapi tidak bisa dimakan, alias memang tidak mampu dan tidak dapat dirasakan.
Nice writing and meaningful 👍
ReplyDelete