Sejak akhir tahun 2019, berita dan artikel terkait penyebaran virus ini sudah santer dikabarkan oleh media asing (meskipun belum ramai di media-media kelas atas di Indonesia). Sampai pada akhirnya, penyebaran virus ini bersifat pandemik, tersebar luar secara cepat dan masif, sampai ke beragam wilayah di dunia. Tentu saja, hal itu mengubah segala hal dan existing activities yang ada di belahan dunia mana pun yang terkena dampak akibat pandemik ini.
Tidak berbeda dengan negara Indonesia, khususnya terkait tentang mekanisme dan aktivitas bekerja.
Terhitung sudah hampir mencapai enam puluh (60) hari lamanya, saya berada di kondisi dan mekanisme kerja dalam bentuk work from home (WFH). Perhitungan itu dihitung mundur dari pertengahan bulan Maret, tepat tujuh (7) hari sebelum saya melakukan uji presentasi akhir saya sebagai pegawai trainee di salah satu perusahaan swasta di bilangan Jakarta Timur.
Kali pertama saya mendengar bahwa mekanisme kerja WFH akan diberlakukan di kantor, andaian pertama yang saya pikirkan adalah berupa kondisi kerja ala start up nan cantik dan seru yang sering dipertontonkan di beberapa film dari negara barat. Andaian yang dimaksud adalah seperti: waking up, doing exercise, read e-mails, and then cooking. Saya pikir, saya dapat menerapkan time management yang baik, dan dapat tidur tepat waktu sampai tujuh (7) jam lamanya.
But, I tell you, this is not a love story, neither a good story to be read. The reality has been stepping beyond my imagination, and I am still learning to adjust with it.
Kenyataan memang tidak selalu berjalan seperti yang kita bayangkan. Bukan hanya itu, kenyataan pun sering berbeda dengan yang sering dijumpai dan dirasakan kebanyakan orang. Buat saya, sudah pasti dan jelas bahwa tidak semua pengalaman dan kenyataan memiliki peristiwa yang sama. Premis yang serupa belum tentu menelurkan kesimpulan yang serupa juga. Ya, itulah setidaknya yang dapat dikatakan dan dituliskan saat ini.
Satu sampai dua minggu pertama ketika sistem WFH ini sudah berjalan, saya mulai sedikit terganggu dengan jam kerja that doesn't strict to the basic rule. Sebelum WFH, jam kerja yang diterapkan adalah dari pukul 07.30 - 16.30 Waktu Indonesia Barat (WIB). Namun ketika WFH, istilah jam kerja atau office hours terasa menghilang. WFH seolah-olah mengaburkan office hours, menjadi kenyataan baru berupa suatu istilah yang disebut dengan flexible hours. Ya, betul. Flexible hours yang sering menjadi competitive advantage dan kebanggaan dari perusahaan modern & technology-oriented di lima tahun terakhir itu, ternyata tidak seindah seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
Saya membayangkan flexible hours adalah hilangnya hegemoni siklus terkait perlunya bangun pagi-pagi, bergegas mandi, lalu keluar rumah menuju kantor dengan aturan jam kerja yang kaku. Memang, asumsi saya atas definisi flexible terkait hal itu tidak sepenuhnya salah. Namun ternyata, tidak perlunya bangun pagi berimbas ke perlunya bekerja sampai larut malam. Tidak jarang, ajakan meeting di waktu jam 21.00 WIB tak terhindarkan.
Lalu, yang sangat mengganggu saya adalah ajakan meeting di kala weekend. Sudah, sangat jelas. Saya adalah tipikal orang yang paling tidak nyaman ketika weekend saya terganggu. Sejak dulu, saya sudah memiliki mindset, bahwa ketika saya bekerja dan ikut di salah satu konglomerat dan korporasi bisnis dari suatu perusahaan, saya merupakan bagian dari bisnis tersebut [cukup] pada hari Senin sampai hari Jumat saja, sedangkan dua (2) hari sisanya merupakan hak pribadi saya. Hak saya untuk lepas dari segala hal tentang aktivitas bisnis. Namun kembali lagi. Ternyata mindset tersebut tidak berlaku dan serta menjadi bumerang yang menyakitkan untuk hati saya.
Di hari-hari weekend pun, meeting tetap dilaksanakan. Selain itu, aktivitas tersebut tidak berlangsung dalam waktu yang sedikit dan sebentar. Hahaha.
Kesal, tapi mau bagaimana lagi.
Ada kesan bahwa seolah-olah pegiat kerja dapat bekerja kapan pun. Hemat saya, pandangan itu muncul karena pada situasi pandemik seperti ini, tidak ada tempat hiburan yang buka, pun memang ada anjuran dari pemegang otoritas untuk stay at home.
Jadi, nihilnya alasan lain yang dapat dipergunakan untuk menolak ajakan bekerja tersebut pada waktu-waktu yang menyesakkan hati.
Hal-hal ini menyakitkan saya. Jujur, sedikit.
Namun.
Meskipun hati sakit dan rasanya tidak enak terkait balada akibat pandemik ini.
Selalu saja ada yang berkata dan menganjurkan untuk tetap bersyukur.
Baiklah. Mungkin, saat itulah, I have to step back and stop for a moment. Think back.
Tarik napas, mulai bersyukur, dan mulai lagi.
Repeat, over and over again.
Comments
Post a Comment