Kerusuhan di Gedung Capitol Amerika Serikat yang disebabkan oleh pendukung Donald Trump pada Rabu (6/1/2021) siang waktu setempat merupakan preseden yang buruk bagi sejarah perjalanan demokrasi di Amerika Serikat (AS).
Peristiwa tersebut menimbulkan reaksi yang muncul, tidak hanya dari tokoh-tokoh di AS, namun juga dari tokoh lain seluruh dunia. Beberapa tokoh Partai Republik pun turut mengecam kerusuhan tersebut, termasuk juga Mike Pence yang menghendaki kerusuhan di Capitol tidak terjadi dan massa pendukung dapat menghormati proses demokrasi yang sedang berlangsung. Kerusuhan yang terjadi ini pun menjadi bahan cibiran oleh musuh AS seperti Hassan Rouhani yang mengatakan betapa rapuh dan rentannya demokrasi Barat.
Tidak hanya beragam reaksi tersebut, Facebook dan Twitter bahkan sampai melakukan pemblokiran terhadap akun Presiden Donald Trump. Sebelum kerusuhan terjadi, Trump disinyalir melakukan provokasi ke massa pendukungnya untuk menolak hasil pemilu AS yang memenangkan Joe Biden sebagai presiden terpilih. Provokasi tersebut diduga menjadi pemicu kerusuhan di Gedung Capitol. Sejauh pengetahuan saya, sepertinya pemblokiran akun ini adalah peristiwa pertama kalinya seorang presiden negara adidaya tidak berdaya terhadap perusahaan swasta seperti Facebook dan Twitter (re: atau dengan kata lain, pada aspek ini Zuckerberg memiliki kuasa yang lebih banyak dibandingkan dengan Trump, hehe).
Okay, jadi tiga paragraf di atas adalah sebagai pengantar tulisan saya di bawah ini. Fyi, sudah hampir satu kuartal saya tidak menulis artikel di platform ini. Saya menulis dengan perasaan kagok dan janggal apakah tulisan saya setelah ini masih dapat dibaca dengan baik oleh pembaca, hehe.
Pada artikel ini, saya tertarik untuk berbicara terkait kebebasan berbicara. Jika pembaca sudah mengikuti saya sejak lama, saya rasa pembaca pasti mengerti bahwa kebebasan berbicara merupakan sebuah hak yang sangat istimewa bagi saya. Hak ini merupakan hak mendasar yang wajib dimiliki ketika seorang manusia lahir dan hadir sebagai warga negara. Pada awal dahulu saat pertama kalinya saya mencoba paham tentang hak kebebasan berbicara ini, saya menggebu-gebu dan antusias bahwa hak ini wajib dimengerti dan digunakan oleh semua orang. Saat itu, saya berpikiran bahwa kebebasan berbicara tidak memiliki batasan apa pun - selama yang dilakukan memang dalam konteks berbicara / verbal, bukan sampai ke aksi tindakan fisik. Untuk dapat digarisbawahi, ini adalah pemikiran saya pada saat itu.
Namun ternyata, dua hari belakangan ini membuat saya harus berpikir ulang tentang pengertian hak kebebasan berbicara. Ternyata, hak kebebasan berbicara yang menjadi norma hukum di masyarakat, adalah kebebasan yang terbatas. Apakah ada indikatornya? Hal ini terbukti dari kasus pemblokiran akun media sosial Facebook dan Twitter milik Presiden Donald Trump. Sepengetahuan saya, Trump melakukan posting cuit di akunnya, dan ternyata hal itu diduga menjadi provokator yang menstimulus massa pendukung Trump untuk melakukan kerusuhan di Capitol. Hal tersebut pula yang menyebabkan akun Trump diblokir oleh pemilik platform media sosial.
Jika saya masih mengilhami pemikiran bahwa hak kebebesan berbicara tidak memiliki batasan apa pun, posisi saya sekarang adalah mendukung Trump dan melawan Zuckerberg. Namun, saya tidak berpikiran demikian. Saya pikir, jika saya mengambil posisi untuk mendukung Trump, maka saya melakukan hal yang salah, bukan hal yang benar. Menurut saya, kerusuhan di Capitol adalah peristiwa yang sangat memalukan. Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara pelopor akan lahirnya nilai demokrasi, ternyata malah menodai sendiri sejarah baik yang telah mereka buat selama ini.
Saya mendapat satu pelajaran penting yang kembali memvalidasi dan memelekkan mata hati saya, yaitu bahwa seruan dan ajakan - yang merupakan hasil buah pemikiran merupakan alat yang dahsyat dan powerful. Silakan coba dibayangkan, ternyata sebuah cuit dan kata dari seorang pemimpin dapat menjadi alat provokasi yang mengerikan. Sama halnya dengan ilmu Fisika bahwa setiap aksi akan menimbulkan reaksi - maka ketika kita memiliki kesempatan berbicara untuk mengutarakan maksud tertentu, hal itu akan menimbulkan dampak yang dapat berakibat baik dan juga buruk.
Sekarang dan saat ini, saya memiliki pengertian dan tanggung jawab yang baru secara personal, bahwa hak kebebasan berbicara bukanlah berarti dapat berbicara semaunya saja. Pengertian saya yang baru ini memiliki sebab yang kuat, bahwa pada akhirnya - mungkin saja akan ada pihak lain yang menganggap kita melewati batas sehingga kita dilarang untuk berbicara. Akan selalu ada otoritas yang lebih tinggi, yang memang mampu menghalangi kita untuk bebicara. To be noted, hal ini bisa saja tidak hanya berlaku pada kebebasan berbicara, namun juga berlaku pada kebebasan yang lainnya.
At least, akhirnya saya menyerah dan berserah juga dengan mayoritas orang yang memang meyakini dan mengilhami pengertian ini, dan pun hal ini adalah sebagai norma hukum yang berlaku di masyarakat.
Pada kasus di artikel ini, dibuktikan bahwa Zuckerberg memiliki kuasa dan otoritas yang lebih kuat, karena Trump berbicara bebas menggunakan platform milik Zuckerberg.
By the way, satu hal lagi. Jika kita melihat kerusuhan yang terjadi di Capitol atau melihat aksi reaktif yang masif dari massa pendukung salah satu tokoh politik dan pemimpin - ternyata kita sadar bahwa kejadian yang ada di Indonesia selama ini (yang tentunya saya jijik dengan itu) juga terjadi di Amerika Serikat.
Meskipun peradaban di AS secara empiris jauh lebih mature dan modern dibandingkan di Indonesia, namun ternyata hakikat dan sifat dasar manusia tidak akan pernah berbeda. Pada dasarnya, manusia memang sama. Reaktif.
Regards,
AJN
Comments
Post a Comment