Komunitas Jendela kembali melakukan
kegiatan rutinnya di daerah Bantul pada Hari Minggu, 3 September 2017. Relawan
berkumpul pukul 09.00 pagi di Masjid Bantul. Momen pada hari itu merupakan kali
pertama bagi beberapa relawan baru untuk melayani anak-anak di daerah Bantul.
Lokasi kegiatan Komunitas Jendela di Bantul berada di rumah Kepala Dukuh, suatu
tempat berkumpul untuk warga-warga. Di sana, terdapat sebuah rak yang berisi
buku-buku bacaan. Pukul 09.15, belum ada anak-anak yang berkumpul di tempat
tersebut. Hal itu merupakan kesempatan bagi para relawan untuk mempersiapkan
acara yang terbentuk dari beberapa pos. Sampai pada beberapa menit kemudian,
belum terlihat banyak anak yang mau datang ke sana. Entah seperti apa dan mengapa
sebabnya, namun dapat diasumsikan bahwa mereka tidak melihat sebuah kegiatan
yang menyenangkan di tempat itu. Jam setengah sepuluh pagi, hanya ada dua
sampai tiga anak yang mau mengikuti para relawan untuk membaca buku. Namun itu
bukan suatu masalah, bagi para relawan yang baru, di situlah puncak nikmatnya.
Kenikmatan mempunyai kesempatan ketika melayani dan mengajari anak-anak untuk
gemar membaca merupakan hadiah manis yang harus dicapai para relawan. Memang,
tidak semua anak-anak dapat dijangkau dan didekati dengan awalan membaca buku. Untungnya, relawan membawa
alat permainan yang ternyata merupakan penyelamat kegiatan siang itu. Alat itu
adalah permainan ular tangga yang
dapat dimainkan langsung oleh pemainnya. Jadi, tersedia peta besar permainan dan
satu buah dadu yang cukup besar. Awalnya, hanya dua anak yang menjadi peserta
permainan dan didampingi oleh dua orang relawan. Dari kejauhan, ternyata ada
beberapa anak yang sudah berkumpul menyaksikan keceriaan permainan itu. Memang
benar adanya, memahami anak-anak memerlukan teknik tertentu. Tidak semua cara
dapat digeneralisasikan dan diterapkan ke semua anak. Perlu diakui bahwa
permainan ular tangga merupakan
permainan yang menyenangkan. Anak-anak berebut dan berteriak untuk dapat segera
menuntaskan permainan dan menjadi pemenang. Namun, tentu saja hal itu bukan
sesuatu yang mudah. Berulang kali mereka gagal, dan mencoba lagi. Permainan ular tangga itu pun tidak hanya sebatas
mainan saja. Terdapat pesan-pesan khusus dalam rintangannya. Salah dua contohnya
adalah seperti: ketika mendapat keberuntungan
untuk naik tangga ke atas, bertuliskan “Sayangi Temanmu”, atau ketika
mendapat jackpot untuk turun tangga
ke bawah, bertuliskan ”Berteriak ke Teman”. Dua hal tersebut merupakan sesuatu
yang menarik. Anak-anak dapat bermain sekaligus belajar. Ternyata, tidak
selamanya belajar memerlukan media yang membosankan. Beberapa anak yang tadinya
hanya mengamati permainan dari kejauhan, mendekat juga. Sampai pada akhirnya,
para relawan cukup bahagia dengan jumlah anak-anak di situ. Kehebohan dan
keberhasilan dari permainan ular tangga,
digunakan para relawan untuk tetap menjalankan pos-pos kegiatan yang sudah
dibentuk. Jadi, setelah anak-anak mampu melewati angka 100 pada permainan ular tangga, mereka melanjutkan ke pos tebak gambar cerita. Ada kumpulan gambar
dan potongan-potongan tulisan berparagraf yang harus mereka susun. Tahu di mana
esensinya? Anak-anak harus membaca tulisan berparagraf tersebut dahulu, baru
mereka mampu menyusun gambar-gambar yang melambangkan cerita yang diceritakan. Sambil menyelam minum air, anak-anak
mampu membaca, menganalisis cerita, dan meruntutkan sebuah peristiwa. Tidak
semua anak mampu membaca dengan lancar, bagi mereka yang masih belum bisa
membaca dengan lancar, berada di pos mewarnai.
Suatu hal yang perlu dipahami, masih banyak anak yang mengkhawatirkan tentang
nilai. Jadi, ketika beberapa anak sudah selesai mewarnai gambar, mereka
berebutan menanyakan jumlah nilai yang mereka dapat dari hasil warna tersebut.
Memperlakukan anak-anak tidak boleh sembarangan. Respon atau tanggapan dari
relawan ketika mendapat pertanyaan dari anak-anak merupakan suatu hal yang
harus benar-benar diperhatikan. Relawan harus tahu teknik-teknik dalam
berkomunikasi dengan anak-anak. Hal itu merupakan seni, sama halnya dengan
mewarnai gambar. Sesuatu yang tidak dapat diidentifikasi secara kuantitatif.
Jadi, seperti itu rasanya menjadi relawan di Komunitas Jendela. Semua sama
belajar, sama dari awal, dan dimulai dari dasar. Kegiatan di Bantul selesai di
siang hari, sekitar jam setengah dua belas. Entah, sampai mana efek para
relawan untuk anak-anak. Namun mungkin, menemani mereka untuk menghabiskan
waktu di Hari Minggu pagi dengan kegiatan positif, mungkin ada manfaatnya. Ya,
semoga.
Halo selamat berkarya! Sudah hampir sebulan tidak update tulisan di blog ini. Saya akan berbagi cerita mulai dari Retreat yang telah saya jalankan bersama rekan-rekan SMAN 3 Semarang. Jumat, 9 Desember 2011 - Minggu, 11 Desember 2011 Pukul 14.30 seusai pulang sekolah hari Jumat - pukul 14.30 hari Minggu di Bandungan Acara tahunan dari DOC (salah satu subsie di SMAN 3 Semarang) adalah mengadakan retreat di luar lokasi sekolah kami. Biasanya acara tersebut diadakan di Bandungan. Pada tahun 2011 ini dan bersaman dengan pengalaman pertama saya mengikuti retreat bersama SMAN 3 Semarang, diadakan di Rumah Retreat Angela Patrick, Bandungan. Tepatnya berada di belakang Pasar Bandungan. Beginilah ceritanya... Kebetulan pada hari tersebut tidak diadakannya kegiatan belajar mengajar di sekolah, sehingga kami dapat pulang lebih awal dari biasanya. Awalnya saya dan Puguh teman saya belum tahu bila warga sekolah sudah diperbolehkan pulang, sehingga kami izin pada guru Bimbingan Konselin...
Comments
Post a Comment