Bargaining itu adalah tawar menawar.
Bukan barter ya, hehe.
Ini namanya adalah bargaining.
Mungkin jika sering pergi ke pasar tradisional, bargaining benar-benar bukan hal asing.
Ternyata bargaining tidak hanya terjadi di pasar tradisional.
Di mall pun ada sebenarnya, hanya di toko kamera.
Jadi seperti ini ceritanya.
Sore hari, saya memang sudah niat akan membeli filter lensa yang dari paginya saya sudah membawa uang, Rp 300.000,- besarnya.
Saya berkunjung ke salah satu mall dekat sekolah saya, bersama Winson.
Awal masuk ke toko.
Disapa oleh seseorang yang ramah layaknya penjaga toko.
"Mau cari apa, Mas?" tanyanya.
"Saya mau cari filter lensa."
Kemudian dia mengeluarkan tiga macam filter lensa.
Saya pun menanyakan apa perbedaannya dan mana yang paling bagus.
Saat itu dia menunjukkan bahwa yang paling bagus adalah yang paling terakhir dia keluarkan.
Dengan penjelasan anti embun, anti jamur, dan lain-lain.
"Berapa harganya?"
"Ini Rp 540.000,- saja, bonus pembersih lensa."
Sial. Mahal sekali. Seingat saya untuk harga filter lensa tidak semahal itu.
Biasa, saya tidak menentu.
Ehhhh sialnya lagi, saya malah kelepasan bilang.
"Wah saya cuma bawa Rp 300.000,- Mas. Bisa turun atau tidak?"
Dia langsung bergaya menghitung dengan kalkulatornya, entah itu benar menghitung atau hanya memencet angka 300.000 hahaha.
"Ya sudah, dengan potongan harga, tanpa pembersih lensa, saya kasih deh seharga itu, tapi janji akan menjadi langganan toko ya?" katanya.
Sial lagi lagi. Dia nya setuju. Saya menyesal.
Menyesal mengapa?
Karena saya menawar dengan nominal yang masih besar.
Herannya lagi.
Gila.
Turun harga dari Rp 540.000,- menjadi Rp 300.000,-
Berarti, harga asli filter berapa jika tanpa menghitung profitnya.
Sial.
Saya pun juga yakin sebenarnya saya bisa menawarnya lagi lebih kejam.
Tapi ya sudahlah.
Untuk pelajaran.
Bingung akan bangga bisa menawar atau bodoh karena tawaran masih tinggi.
Sials.
Bargaining.
Kejam bukan?
Tetapi apa se-kejam Ibu Kota? Alaaah.
Hehehe.
Comments
Post a Comment