Saya kerap menyakiti hati orang.
Saya sering melukai perasaan orang.
Saya sering diperingatkan.
Tetapi, saya juga sulit untuk berubah.
Kejadian serupa sering terulang.
Saya menjunjung tinggi ego.
Sementara itu, saya tak memikirkan perasaan lawan bicara.
Saya sungguh egois.
Sampai suatu ketika, saya mulai takut.
Saya takut akan kesalahan yang berpotensi sekali untuk terulang.
Saya takut menyakiti orang lain.
Membuatnya menangis, untuk berkali-kali.
Sampai suatu saat, saya melontarkan suatu kalimat.
Pernyataan untuk menyerah, tanpa harapan.
Saya sedang di waktu yang tak tepat.
Dapat dikatakan bahwa saya sedang asal bicara.
Saya tak bisa mengerti.
Alasan saya mengucapkan pernyataan itu.
Saya hanya bisa menyesalinya.
Bahwa kalimat tersebut sangatlah tak pantas.
Namun, saya masih beruntung.
Saya menyadari hal tersebut tidak lama setelah kejadian berlangsung.
Saya memohon maaf.
Saya tak bermaksud untuk menyerah.
Sejak dahulu, saya memang tak ingin menyerah.
Saya ingin bersamanya.
Sampai saya tak bisa membuka kelopak mata.
Sampai saya tak bisa merasakan udara.
Saya menyesal.
Saya tak bisa tidur dengan tenang.
Saya tak punya tujuan.
Saya mulai kehilangan harapan.
Saya memilih untuk menunggu.
Sampai ketika waktu yang tepat.
Untuk saya memohon maaf sekali lagi.
Saya tak akan menyerah.
Meskipun, saya harus dibenci.
Saya harus diberi pelajaran, bahwa tak semuanya bisa dimiliki.
Saya akan tetap dan selalu mengasihinya.
Tak akan pernah mati.
-@andikajati-
Comments
Post a Comment