Skip to main content

Goodbye, Sir!

Bapak Ir. Christian Hardjatmoko MT.
Bapak kebanggaan saya.
Yang sudah menemani saya.

Lahir di Jakarta, 2 Januari 1960 dan meninggalkan dunia ini di 25 Mei 2013.
Dari kecil, putra kelima dari sepuluh bersaudara ini, dari pasangan Bapak Soelarto dan Ibu Soejati.
Memasuki Sekolah Dasar Kristen Manahan, Surakarta, pada umur enam tahun, yang pada saat itu, sepertinya terlihat ganjil dan aneh. Karena dia memang tidak melewati masa Taman Kanak-kanak. Kemudian lanjut ke SMP 5 Surakarta dan SMA Santo Yusuf Surakarta [saat itu hanya ada anak laki-laki di sekolahnya].
Lanjut ke kuliah, dia melanjutkan ke Universitas Brawijaya, teknik sipil. Yang akhirnya dapat membahagiakan saya, kakak, dan ibu saya, maupun keluarga besar. Terima kasih.

Saya ingin menceritakan kejadian yang beberapa ini bak mimpi. Weleh.

Pertama. Ayah saya sudah meninggalkan saya untuk selama-lamanya.
Kedua. Saya masih ingin bersedih.
Ketiga. Saya tidak boleh seperti ini terus.
Keempat. Ini memang akan menjadi susah, mulai dari psikologi, sosial, maupun ekonomi.
Kelima. Ya, dari segi ekonomi. Memang akan lain, berbeda dari sebelumnya. Dari yang sering berfoya-foya, harus lebih bisa mengontrol diri. Thanks God. Ini ibarat life cycle, bahwa sesungguhnya, tidak ada yang abadi. Good life.

Jumat, 24 Mei 2013.

Bangun pagi dan hendak berangkat ke sekolah. Tidak ada sesuatu yang aneh. Berjalan seperti biasa. Ayah saya juga berangkat ke kantor layaknya kebiasaan lama. Hari itu saya memang punya banyak acara. Saat itu juga sedang akan diadakannya pengumuman kelulusan SMA N 3 Semarang, dan saya mendapat tugas untuk mendokumentasikan acara tersebut.
Ketika sekolah, berjalan seperti biasa. Pulang lebih awal karena akan adanya rapat dari dewan guru. Menyempatkan makan siang di Mcdonalds sebelum Jumatan bersama Edoardo Biyakto dan Satria Willy, swag sekali, hehe. Dan menunggu sampai jam tiga sore, akan diadakannya acara dari Alste'13.
Acaranya adalah, pertama mereka akan bersujud di depan Balai Kota depan SMAN 3 Semarang. Kemudian akan berjalan arak-arakan menuju Simpanglima sembari membawa balon dan membagikan nasi bungkus dan segelas minum air mineral ke orang-orang sekitar. Berbajukan kaos berwarna biru dan jaket angkatan Nirwana [angkatan Alste'13] kebanggaan SMAN 3 Semarang.
Saya bertugas mendokumentasikan bersama keempat teman, Billy Mahdianto, Gigih Lintang, Indra Cakraningrat, dan Rizky Damry. Awalnya, saya hanya ingin mengikuti acara tersebut hingga saat sujud syukur, tetapi apa daya, teman-teman ingin menyaksikan hingga selesai. 

Acara selesai sampai sore hari. Dan saya memang berniat akan melanjutkan bermain hingga malam. Saat itu, ibu memberi pesan,
"Kok belum pulang? Main terus, tidak betah di rumah ya?"
Saya merasa kaget dan meneleponnya. Ternyata dia di rumah sendiri sejak siang hari.
Belum ada rasa aneh.

Kesalahan yang saya buat bertambah lagi. Saya main hingga malam. Padahal sekitar jam setengah delapan, bapak menelepon,
"Mau pulang jam berapa, Dik? Bapak sudah membelikan makanan, mau makan bareng anaknya," begitu katanya.
"Sebentar, Pak. Ini main dulu sebentar ya," jawab saya.

Kemudian saya memberi SMS, dia menyuruh paling lama jam sembilan malam sudah pulang, tetapi saya menawar, paling tidak hingga jam sepuluh malam.
Padahal dia sudah memberi kalimat,
"Please jangan telat."

Saya kongkow di depan sekolah. Seperti biasanya, bapak memang sering menyuruh pulang, tetapi juga seperti biasa saya mengulur-ulur waktu. 
Belum ada rasa aneh. Sama sekali belum ada.

Karena malam itu, banyak teman yang ikut kongkow, saya baru pulang dari sekolah tepat jam sepuluh. 
Sampai rumah. Saya memang tidak langsung masuk ke kamar bapak dan ibu. Tiba-tiba, ibu keluar dan berkata,
"Bapak dilihat dulu, badannya sesak napas."
Jujur, saat itu saya sedikit kesal. Saya merasa, mengapa harus saya yang dibegitukan, saya seperti terkekang. Bapak saya memang tipikal Ayah yang kangen tehadap anaknya. Kebiasaan dia adalah, selalu mengajak saya tidur bersama, jika tidak ada saya, pasti susah tidur.
Saya masuk ke kamar, dan melihat Bapak sedikit pucat dan sesak napas. 
"Mandi dulu, Dik," katanya.
Saya mandi dan masih sedikit kesal. Baru setelah mandi, semuanya berubah. Saya pikir, sehabis saya pulang ke rumah, dia tidak jadi sesak napas lagi. Ternyata, tidak.
Bapak minta dipanggilkan tetangga, sebut dia Pak Yoyok, untuk dipinjamkan alat pemberi oksigen. Saya ke rumahnya dan meminjamnya. Waktu itu menjelang jam sebelas malam. Pak Yoyok membukakan pintu dan langsung sedikit panik. Dia menyetel alat itu ke hidung Bapak. Baru setelah itu, mereka sepakat untuk dibawakan ke rumah sakit.

Saya takut.
Kali ini, saya benar-benar takut.

Pak Yoyok dan ibu mengantar bapak ke rumah sakit sekitar Banyumanik. Saya tidak ikut awalnya. Kemudian menyusul karena dimintakan dibawakan handuk dan pakaian. 
Begitu sampai di rumah sakit. Bentuk rumah sakitnya itu terbuka, tidak berupa kamar, tetapi hanya seperti bilik, rumah sakit kecil, mengerti maksud saya tidak? Hehehe.
Jadi saya bisa melihat bapak saya sendiri di depan mata saya. 
Waktu itu, dia muntah-muntah terus dengan posisi duduk. Mengeluarkan air seperti lendir putih. Ibu menangis. Bapak dipasangkan alat pemberi oksigen melalui mulutnya. Tetapi dia terusan berkata,
"Tidak bisa napas, tidak bisa napas," teriaknya.
Dokter malahan ikut panik, dan bingung. Bukan maksud menyalahkan, bukan juga karena saya merasa di pihak yang dirugikan, tetapi saya merasa, pihak rumah sakit kurang cakcek, begitu yang saya rasa. Sampai pada akhirnya, muntahan tadi keluar melalui hidung. Dan bapak menatap saya, dan kemudian menutup matanya sambil merebahkan badannya ke kasur rumah sakit.
Tepat di depan mata saya sendiri.
Saya melihat bapak saya sendiri menderita kesakitan. 
Dokter mengupayakan segala sesuatu, dari detak jantung, dan lain hal sebagainya, saya tidak tahu. Tetapi saya sudah merasa, memang sudah waktunya.
Sampai pada akhirnya, dokter menjelaskan ke ibu saya. 
"Bapak sudah kondur, Bu."
Ibu menangis, berteriak, menjerit. Dia seakan-akan tidak percaya.
Sedangkan saya, bingung harus berbuat apa.
Saya tidak menangis, karena saya merasakan itu begitu cepat.

Saya mengawalinya dengan menghubungi kakak saya.
Saya harus tegar, tidak boleh memperlihatkan kesedihan, apalagi di depan ibu saya sendiri.

Pak Yoyok menghubungi tetangga, saya menghubungi keluarga.
Kami pulang ke rumah dan menyiapkan berbagai hal.
Untung, yang namanya tetangga memang baik.
Semua terurus sendiri, sudah ada saja yang mengurusi.
Waktu itu sekitar jam dua belas malam.


Sabtu, 25 Mei 2013.

Saya tidak bisa tidur. Saya memandikan badan bapak. Saya menangis, meneteskan air mata. Malam itu, ada saja teman yang ke rumah. Terima kasih, Tuhan, telah memberikan teman-teman yang perhatian terhadap saya, terima kasih.

Paginya, saya ditanya, 
"Ingin dimakamkan di mana, Mas?"
Saya bimbang, saya rasa ibu juga pasti akan bingung untuk memutuskan. Saya pun yang memutuskan.
Jika di Solo, tentu pasti banyak keluarga, tetapi akan jauh dari saya. Keputusannya adalah, dimakamkan di Semarang. Awalnya ingin di Pemakaman Trunojoyo, tetapi sudah penuh dengan pesanan, sehingga dipindah ke Pemakaman Durian. Awalnya saja tidak diperbolehkan oleh pengurus pemakaman tersebut, karena pemakaman itu memang hanya dikhususkan untuk keluarga daerah Durian. Baru ketika pengurus laki-laki itu, ditelepon oleh seseorang bernama Bapak Wito, dia pun memperbolehkan. 
Saat itu, memang saya yang menentukan dan mengurus, ditemani oleh tetangga. Dari situ saya mulai berpikir, dari sekarang, semua sudah harus saya yang mengurus. Saya harus menjaga ibu saya. Kakak yang kuliah di Bandung, saya akan berdua bersama ibu di Semarang. Ibu tidak bekerja, saya harus berhemat. Semua memang sudah ada rencana dari Tuhan, tetapi yang namanya manusia, pasti ada rasa khawatir. Ya, sudahlah.
Siang itu, banyak orang berdatangan. Teman-teman saya juga berdatangan.

Terlebih ini saya ingin bercerita, ketika saya sedang sarapan di dapur. Dengan menangis, tiba-tiba  teman-teman saya datang dan masuk ke dapur. Saya melihat muka teman-teman saya, yang melihat saya menangis. Hehehe, gila. Rasanya seperti...ya sudahlah. 

Hari itu, ibu selalu menangis. Orang-orang berdatangan. Wali kelas saya juga, Ibu Siti Rusmiyati. Hehehe, kaget juga. Banyak orang-orang tak terduga datang. Sampai pada akhirnya, kebaktian, tutup peti, dan dimakamkan. 


Ya, kira-kira seperti itu cerita singkat saya.

Begitu banyak masalah yang akan datang, tetapi itu bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan.
Begitu banyak biaya yang akan keluar, sedangkan pemasukan yang sedikit, solusinya ya berhemat.
Begitu banyak perubahan sosial yang akan terjadi.
Roda berputar.
Saya merasa ini seperti cerita di film drama, hehehe.
Saya harus tetap tegar.
Saya melindungi ibu saya.
Saya harus berjuang.
Untuk ke depannya.

Dua pesan, lindungilah keluargamu.
Pulanglah, jika memang disuruh pulang.

Tetapi kembali lagi, semua itu adalah kehendak Tuhan.
Tidak akan ada yang tahu.
Terima kasih, Tuhan.
Engkau luar biasa.

Selamat tinggal, bapak.
Semoga sampai tujuan dengan selamat, [begitu gambar display picture BBM-nya].
Yang jelas tidak akan ada lagi orang yang:
1. Menyuruh tidur cepat.
2. Mengajak tidur.
3. Mengomel karena pulang larut.
4. Meminta dibukakan e-mail.
5. Meminta diambilkan sesuatu.
6. Masih banyak lagi deh.
Hehehe, saya akan rindu itu semua.
Terima kasih. :)

Goodbye.
Waktu di rumah.
Peti.
Bye.

Comments

  1. Your father this my inspiration.. i love you dead.. keep calm soon,we are there fou U .... bolank petualank

    ReplyDelete
  2. Iya, Mas/Mbak. Terima kasih, hehe. Semoga semua selalu diberkati ya, tks.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Retreat di Angela Patrick, Bandungan

Halo selamat berkarya! Sudah hampir sebulan tidak  update tulisan di blog ini. Saya akan berbagi cerita mulai dari Retreat yang telah saya jalankan bersama rekan-rekan SMAN 3 Semarang. Jumat, 9 Desember 2011 - Minggu, 11 Desember 2011 Pukul 14.30 seusai pulang sekolah hari Jumat - pukul 14.30 hari Minggu di Bandungan Acara tahunan dari DOC (salah satu subsie di SMAN 3 Semarang) adalah mengadakan retreat di luar lokasi sekolah kami. Biasanya acara tersebut diadakan di Bandungan. Pada tahun 2011 ini dan bersaman dengan pengalaman pertama saya mengikuti retreat bersama SMAN 3 Semarang, diadakan di Rumah Retreat Angela Patrick, Bandungan. Tepatnya berada di belakang Pasar Bandungan. Beginilah ceritanya... Kebetulan pada hari tersebut tidak diadakannya kegiatan belajar mengajar di sekolah, sehingga kami dapat pulang lebih awal dari biasanya. Awalnya saya dan Puguh teman saya belum tahu bila warga sekolah sudah diperbolehkan pulang, sehingga kami izin pada guru Bimbingan Konseling te

My Second Assignment

ANDIKA JATI NUGROHO 140608050 Peter Lind, Flavor Development Specialist Ben & Jerry’s Ice Cream, Waterbury, Vermont Hello. See me again. My name is Andika Jati Nugroho. I’m from G class. I got my second assignment from my teacher, Mrs. Bening. This unit is about “The Most Wanted Jobs in The World”. Luckily, we will discuss about Peter Lind, a flavor development specialist in an ice cream company. Here it is. First. I want to tell you, that I was simply shocked and I am still confused about Mrs. Bening’s system at reading activities. In Senior High School, reading is just a simple thing. We just read. Commonly, the text was fictional. But, Mrs. Bening used another way. The text was based on true story. And, we had to use other sources to find the information of text and think critically at understanding the text.   Let us start into the core. There is an ice cream company named Ben & Jerry’s Ice Cream in Vermont. It is located in North-East of United

Perubahan Cara Berdialektika

Sebelumnya, saya sudah memiliki pandangan dan asumsi tentang hal ini. Asumsi itu timbul akibat fenomena yang terjadi pada saya dan teman-teman di lingkungan saya. Saya hampir yakin, Anda pun pasti pernah mengalami dan mendengarnya. Contoh yang paling mudah untuk dijelaskan adalah ketika saya kesulitan dalam memahami materi perkuliahan di kelas. Dari awal, dosen sudah memberikan buku bacaan atau referensi yang dapat dibaca untuk menunjang mahasiswa mendalami materi yang diberikan. Biasanya, dosen memberikan tiga contoh buku referensi. Bagi mahasiswa, mendapatkan buku-buku tersebut pun tidak sulit, karena perpustakaan kampus memang sudah memiliki buku-buku itu dan bisa dipinjam oleh mahasiswa, sudah sangat mudah.  Dulu, ketika saya masih menjadi mahasiswa baru, saya merupakan salah satu orang yang bermental ambisius. Saya membayangkan perkuliahan adalah sesuatu yang canggih, serba luar biasa. Namanya saja mahasiswa, bukan lagi siswa, melainkan mahasiswa. Jadi, mekanisme berdialektika