Skip to main content

Noted from Dangal

Saya barusan selesai menonton film Dangal. Film produksi dari India ini memang sudah lama terkenal, namun saya baru menontonnya hari ini. Sebenarnya, 20 menitan awal sudah saya tonton berminggu-minggu yang lalu, baru saya sambung dan selesaikan hari ini.

Film India, yang saya ketahui dari film India hanya sedikit. Kemungkinan, hanya 3 film saja. Dangal, 3 Idiots, dan PK. Lalu? Ketiganya merupakan film dengan nama Aamir Khan di dalamnya. Hebat. Dan hampir ketiganya, saya merasakan haru yang menggugah hati. Jika diurutkan: 3 Idiots, Dangal, dan PK. 

Dari film Dangal sendiri, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil.

Konsistensi.
Gila saja, gulat yang notabene merupakan olahraga untuk pria di India, dijadikan suatu obsesi bagi Mahavir Singh Phogat untuk kedua anaknya: Geeta dan Babita. Memang gila itu bapak, bayangkan saja, Anda hidup di India (yang lazimnya olahraga gulat adalah untuk pria), diajarkan pada kedua anak gadisnya di tengah-tengah desa yang mayoritas pemikiran orang-orangnya saat itu masih saklek dan susah sekali untuk keluar dari konteks kenormalan masyarakat pada umumnya. Mahavir diejek oleh masyarakat desa, tetapi mampu bertahan dan tetap melatih anak-anaknya.
And see, Geeta meraih medali emas di ajang Commonwealth Games pada tahun 2010. Malah, masyarakat desanya menjadi bangga akan prestasi itu.
See? Konsistensi itu perlu.

Selain itu, Geeta dan Babita yang setiap harinya harus melakukan latihan fisik dari jam 5 pagi, memaksakan diri untuk menerapkan pola makan sehat (menjauhkan alkohol dan makanan pedas) di tengah kebiasaan anak-anak pada umumnya yang bebas makan apa saja. Bahkan, jangankan mengikuti mayoritas gadis desa yang menikah pada umur 14 tahun (meskipun akhirnya mereka sadar, menikah pada umur 14 tahun dan apalagi dengan lelaki yang belum dikenalnya itu tidak keren), atau seorang gadis yang harus memasak di dapur, Mahavir menyuruh Geeta dan Babita mencukur rambutnya (ini, di desa itu pasti dianggap aneh jika ada wanita yang berambut pendek).

Keuletan berlatih dan pengorbanan kebahagiaan merupakan 2 hal yang menurut saya wajib ditiru. Gila. Bayangkan, Anda berada pada posisinya, dengan situasi masyarakat Anda yang seperti itu juga. Pasti sangat sulit. Gila, men.

Setelah menonton film itu, saya jadi malu juga rasanya, jika untuk belajar rutin tiap harinya saja susah. Perasaan saya yang bosan, malas, atau merasa sulit. Malu, coy!
Ternyata ada juga orang-orang di belahan negara lain, yang perjuangannya (kira-kira) sebesar seperti cerita dalam film Dangal.

Padahal, hidup saya masih enak. Hidup sewajarnya, hanya kuliah, malasnya terlalu parah.

Namun, ketika saya selalu mencoba untuk bangkit lagi dan membakar diri dengan optimisme. Saya selalu terbisikkan pikiran jahat untuk tidak seharusnya memberikan usaha berlatih yang maksimal.
Bagi saya, yang seharusnya dimaksimalkan adalah: kecerdikan mengambil strategi.
Mengapa? Karena yang saya tahu, evil wins. Jadi malas jika harus berusaha maksimal, misal sudah berusaha maksimal, ternyata yang menang malah yang berusaha biasa saja dan punya jalur lain yang tembus. Hahaha.
Tapi, jika pakai logika, yang memberikan usaha maksimal yang seharusnya menang.
Tapi, kenyataannya? Tidak semuanya mutlak seperti itu.

Kesimpulannya?
Teka-teki hidup memang brengsek, sih!

Comments

Popular posts from this blog

Retreat di Angela Patrick, Bandungan

Halo selamat berkarya! Sudah hampir sebulan tidak  update tulisan di blog ini. Saya akan berbagi cerita mulai dari Retreat yang telah saya jalankan bersama rekan-rekan SMAN 3 Semarang. Jumat, 9 Desember 2011 - Minggu, 11 Desember 2011 Pukul 14.30 seusai pulang sekolah hari Jumat - pukul 14.30 hari Minggu di Bandungan Acara tahunan dari DOC (salah satu subsie di SMAN 3 Semarang) adalah mengadakan retreat di luar lokasi sekolah kami. Biasanya acara tersebut diadakan di Bandungan. Pada tahun 2011 ini dan bersaman dengan pengalaman pertama saya mengikuti retreat bersama SMAN 3 Semarang, diadakan di Rumah Retreat Angela Patrick, Bandungan. Tepatnya berada di belakang Pasar Bandungan. Beginilah ceritanya... Kebetulan pada hari tersebut tidak diadakannya kegiatan belajar mengajar di sekolah, sehingga kami dapat pulang lebih awal dari biasanya. Awalnya saya dan Puguh teman saya belum tahu bila warga sekolah sudah diperbolehkan pulang, sehingga kami izin pada guru Bimbingan Konseling te

My Second Assignment

ANDIKA JATI NUGROHO 140608050 Peter Lind, Flavor Development Specialist Ben & Jerry’s Ice Cream, Waterbury, Vermont Hello. See me again. My name is Andika Jati Nugroho. I’m from G class. I got my second assignment from my teacher, Mrs. Bening. This unit is about “The Most Wanted Jobs in The World”. Luckily, we will discuss about Peter Lind, a flavor development specialist in an ice cream company. Here it is. First. I want to tell you, that I was simply shocked and I am still confused about Mrs. Bening’s system at reading activities. In Senior High School, reading is just a simple thing. We just read. Commonly, the text was fictional. But, Mrs. Bening used another way. The text was based on true story. And, we had to use other sources to find the information of text and think critically at understanding the text.   Let us start into the core. There is an ice cream company named Ben & Jerry’s Ice Cream in Vermont. It is located in North-East of United

Perubahan Cara Berdialektika

Sebelumnya, saya sudah memiliki pandangan dan asumsi tentang hal ini. Asumsi itu timbul akibat fenomena yang terjadi pada saya dan teman-teman di lingkungan saya. Saya hampir yakin, Anda pun pasti pernah mengalami dan mendengarnya. Contoh yang paling mudah untuk dijelaskan adalah ketika saya kesulitan dalam memahami materi perkuliahan di kelas. Dari awal, dosen sudah memberikan buku bacaan atau referensi yang dapat dibaca untuk menunjang mahasiswa mendalami materi yang diberikan. Biasanya, dosen memberikan tiga contoh buku referensi. Bagi mahasiswa, mendapatkan buku-buku tersebut pun tidak sulit, karena perpustakaan kampus memang sudah memiliki buku-buku itu dan bisa dipinjam oleh mahasiswa, sudah sangat mudah.  Dulu, ketika saya masih menjadi mahasiswa baru, saya merupakan salah satu orang yang bermental ambisius. Saya membayangkan perkuliahan adalah sesuatu yang canggih, serba luar biasa. Namanya saja mahasiswa, bukan lagi siswa, melainkan mahasiswa. Jadi, mekanisme berdialektika