Skip to main content

Live In di Desa Gedong [Rawagandu Patean]

Selasa, 24 Januari 2012 - Jumat, 27 Januari 2012...
Kami siswa-siswi dari SMAN 3 Semarang mengadakan program Live In. Kegiatan yang diadakan di desa-desa sekitar Semarang. Jadi, kami semua siswa diberi kesempatan untuk hidup di dalam desa [turut bekerja] dan bersosialisasi dengan orang-orang desa. Lebih jelasnya, seperti program acara "Jika Aku Menjadi" di Trans Tv. Langsung ke inti cerita, kita mulai dari hari pertama.
First day,
Setelan alarm berada pada pukul 04.30 WIB. Ketika alarm berdering, saya pun terbangun. Pikiran saya sewaktu itu adalah, Live in. Ya, program sekolah yang sepertinya akan berjalan menarik. Bergegas mandi, sarapan, memeriksa barang bawaan, lanjut berangkat ke sekolah. Tak lupa saya bersaat teduh [re: berdoa], berpamitan pada orang tua, dan meminta sangu. Sampai di sekolah sekitar jam setengah tujuh. Banyak siswa yang berdatangan beserta didampingi orang tua masing-masing, sedangkan saya berjalan sendirian dengan membawa tas ransel, tas kecil, dan sekardus oleh-oleh untuk orang tua asuh yang berisi beras 5 kg berkualitas pulen, gula yang manis, teh, dan masakan kebanggaan kita [indomie]. Seperti acara yang lain, sebelum keberangkatan diadakan upacara pembukaan. Sambutan dari kepala sekolah SMAN 3 Semarang mengawali hari kami yang akan berkesan. Ketika bus mulai berdatangan, kami memasukkan barang bawaan. Saya pikir semua siswa akan mendapati tempat duduk masing-masing, ternyata itu semua salah, beberapa dari kami terpaksa duduk di atas tas bawaan dan berdiri menangkring seperti layaknya bus kota. Bus digawangi oleh dua orang laki-laki, satu sebagai driver, dan yang lain sebagai pemandu atau istilah kasarnya adalah kondektur. Perjalanan ke Kendal [Desa Gedong] memakan waktu tiga setengah jam, dari jam 7.30 - 11.00. Saat bus melewati daerah Kalibanteng, pasti hanya satu tempat yang terlintas di pikiran saya dan teman-teman pria, yaitu tempat perdagangan kenikmatan [bacalah dengan senyum tertawa]. Naik perbukitan, melewati alun-alun, dan akhirnya sampai di kantor Kecamatan Desa. Telah banyak karyawan kantor yang menyambut kami. Sepatah dua kata dari orang kecamatan, dilanjutkan dengan berangkat ke desa masing-masing. Kelas X dibagi menjadi empat belas kelas. Dari empat belas kelas tersebut, dibagi lagi menjadi tujuh desa. Jadi, tiap desa dihuni oleh dua kelas. Saya dari kelas X-10 mendapati Desa Gedong bersama-sama dengan kelas X-9. Kami transit di balai desa atau disebut dengan pondok. Dan pemandangan sangat menyedihkan terjadi ketika saya baru saja turun dari bus. Pondok tersebut sebenarnya adalah SLTP Terbuka Desa Gedong. Jadi, tempat untuk menuntut ilmu tersebut adalah tempat belajar yang sangat tidak nyaman, tidak mempunyai dinding sehingga hujan pun dapat menghalangi proses belajar mengajar, jangankan hujan, asap kendaraan saja dapat menghampiri dan mengganggu siswa serta guru. Seperti adat jawa kebanyakan, sambutan dari penanggung jawab desa menjadi awal aktivitas kami di desa Gedong. Lanjut dengan pembagian orang tua asuh yang cukup memakan waktu. Tiap rumah ditempati oleh dua orang siswa, kebetulan, saya mendapat housemate yang bernama Akbar. Lulusan dari SMP 5 Semarang. Seorang anak laki-laki yang doyan bertanya dan tidak pernah santai. Saya dan Akbar mendapat giliran terakhir, sehingga seorang kyai dari desa tersebut, mengantarkan kami ke rumah orang tua asuh dengan mengendarai mobil Pajero. Kira-kira tiga ratus meter dari pondok, sampailah di depan sebuah rumah. Penghuninya bernama Bapak dan Ibu Sasmito. Dua orang yang sudah cukup tua dengan pekerjaan petani. Seharusnya mereka mempunyai sepuluh anak, tetapi yang dua telah dipanggil Tuhan, sedangkan sisanya telah merantau di beberapa daerah. Ada yang tinggal di RT sebelah, ada yang di Lampung, ada yang di Jakarta, dan ternyata juga ada yang di Semarang. Saya dan Akbar masuk ke dalam rumah, terlihat seorang laki-laki duduk di kursi. Saya langsung mencium tangan dan memperkenalkan diri. Beberapa kata terucap, dan akhirnya kami (re: saya dan Akbar) mengetahui banyak latar belakang dari Bapak Sasmito. Dia keluar sebentar tanpa berpamitan, dan pulang-pulang membawa se-plastik gorengan. Karena lapar, langsung saya makan. Ternyata, dia juga langsung menyuguhkan makan siang. Nasi dan lauk sayur tempe atau apa itu namanya. Nasi itu cukup pulen, lauk itu cukup enak, intinya memuaskan. Usai makan siang, kami mengelilingi rumah yang akan kami tinggali selama empat hari dan tiga malam. Bagian depan rumah berkeramik, sedangkan bagian belakang serta dapur masih dengan alas tanah. Dapur menggunakan kayu bakar, kamar mandi masih bermodel terbuka, dan akan selalu tetap menggunakan sumur. Di bagian belakang terdapat kandang dengan dua kambing dan beberapa ayam. Untuk dokumentasi dan menuliskan dengan apik dalam blog ini, beberapa gambar telah ter-capture. Karena bosan, Saya bermain ke rumahnya Anan, Rico, dan Winson sekeluarga. Saya mengajak Cahya, Gilang, dan Fahreza sepertinya [sedikit lupa]. Sampai di rumah mereka, saya mendapat kabar bila mereka belum makan siang, jadi saya kembali lagi ke rumah dengan alasan takut menggangu. Karena lupa dengan aktivitas saya selanjutnya, lebih baik langsung kita skip ke sore hari. Antara jam dua sampai jam tiga adalah waktu saya untuk mandi. Awalnya saya ingin menimba sumur sendiri, tetapi Bapak Sasmito tidak memperbolehkan, malahan dia yang menimba air dalam sumur. Mungkin dia tidak tega pada saya, atau mungkin dia tidak ingin saya merusakkan sumurnya, atau mungkin dia ingin menguji seberapa besar rasa kepedulian saya, intinya, dia yang menimba air untuk saya mandi dan mengisinya ke dalam dua ember kecil [sesungguhnya sangat kurang untuk badan saya]. Kali pertama saya mandi di kamar mandi terbuka, dengan pintu yang digeser, sungguh menarik. Karena saat mandi, kita akan mendapati: 
a. Udara/angin yang bebas dan terbuka.
b. Orang-orang yang dapat melihat kita saat mandi.
c. Bau kotoran ayam dan kambing beserta kandangnya.
d. Bau.
e. Dan akhirnya tetap bau.
Kata orang, air sumur itu bersih. Jadi, saya pun tidak usah memikirkan terlalu lama untuk menggosok gigi menggunakan air sumur. Berganti pakaian, dan teman pun memanggil. Seingat saya, yang memanggil adalah Anan. Dia membawa kelompoknya, sekitar enam orang ada di depan rumah yang hendak mengajak ke pondok. Sebelumnya, Akbar ingin supaya saya menunggunya mandi, tetapi karena sepertinya akan lebih indah bila saya meninggalkannya, saya pun pergi ke pondok untuk sharing duluan. Cuaca saat itu gerimis. Di pondok, sudah banyak teman-teman yang berkumpul. Sampai guru saya, Bu Tika pun telah pucat menunggu. Sayang, teman sekelas yang rakus, atau karena saya yang dibodohi, saya tidak kebagian teh dan gorengan. Mungkin hanya seteguk teh yang saya minta dari Anan dan kletikan menemani tenggorokan saya sore itu. Durasi sharing hanya sebentar, sekitar satu setengah jam saja. Kami pun pulang ke rumah masing-masing untuk makan malam. Dari siang, saya sudah merencanakan malam itu untuk bermain ke luar rumah. Untungnya, terwujud. Saya mengajak teman-teman untuk berkunjung ke rumahnya Helmy [yang katanya bule masuk kampung]. Cuaca saat itu masih gerimis. Rumahnya Helmy cukup besar, seperti rumah kontrakan tetapi belum diwarnai dindingnya, Tv lumayan besar dengan antena yang rapi, serta yang terpenting adalah kamar mandi beratap. Kami disambut hangat oleh orang tua asuhnya. Disuguhi nasi dan teh, kopi, gula. Pikiran saya, mengapa harus makan lagi dan makan lagi. Seperti biasa, hanya perbincangan tanpa makna yang terjadi di sana. Sekitar jam sembilan malam, kami pulang ke rumah, seperti janji kami sebelumnya kepada orang tua asuh. Di rumah, sudah ada beberapa anak kecil, yaitu Akbar, Fajar, dan Oghie [saya lupa apakah Evan ikut atau tidak]. Sebenarnya mereka diajak orang tua asuhnya untuk mauludan, tetapi mengapa mereka ada di rumah saya, tidak ada yang tahu. Jam sepuluh malam, Bapak Sasmito pulang, beberapa anak kecil yang nyasar juga pulang. Karena belum terkantuk, saya hendak bermain handphone. Memutuskan untuk menelepon salah satu wanita, ternyata pulsa habis, sial, lanjut tidur, siapa tahu hari selanjutnya pulsa sudah terisi. Mengakhiri hari pertama live in.
Second day,
Cuaca dingin, angin, dan hujan. Saya kedinginan, tidak memakai selimut, dan menggigil. Ketika ke luar kamar, sudah ada Bapak Sasmito di depan Tv, dan saya disuguhi teh panas. Saya sudah berpikir-pikir, mau kerja apa saya pada hari itu. Dan ternyata, kami tidak kerja sama sekali. Bapak Sasmito berkata bahwa dia sudah tua, sehingga tidak diperkenankan anak-anaknya untuk bekerja lagi, maklum, umur Bapak sudah sekitar tujuh puluh dua tahun. Hampir setengah hari saya habiskan di depan Tv, tidak lupa juga untuk buang air besar untuk pertama kalinya di WC yang sistemnya seperti toilet kereta api, "Sekali keluar langsung bablas". Saya menerapkan sistem "Mandi sekali sehari" saat live in. Siang harinya, saya sempat bermain ke rumah Cahya, Naufa, dan Adit. Disuguhi dengan jagung bakar sepertinya [sedikit lupa lagi]. Karena merasa kurang pasukan, kami bermain ke RT sebelah, ke rumah Nibras untuk hendak bermain pingpong, yang sebelumnya di jejaring sosial Twitter, Afif berkicau tentang #livepingpong. Baru bermain sebentar, kami berubah haluan. Dana mengajak untuk bermain sepak bola. Karena semua sepakat, kami berangkat. Modal bola plastik yang dibeli di warung seberang rumah Nibras, kami mencari lapangan sepak bola. Sebenarnya ada dua lapangan bola. Yang pertama sepertinya hanya untuk pemula, karena ukuran lapangannya yang lebih kecil. Sedangkan lapangan yang kedua sepertinya untuk pemain pro, ukurannya sudah seperti ketetapan FIFA [lebay juga ya]. Siswa kelas X-9 melawan siswa kelas X-10. Tetapi ada yang ganjil, karena saya yang siswa kelas X-10 membela tim lawan, serta Nabdha yang siswa kelas X-9, membela tim kelas saya. Cuaca saat itu sedikit gerimis, dan mendadak hujan deras. Awalnya kami gelagapan untuk berteduh, tapi karena sudah basah, kami memutuskan untuk lebih basah lagi, seperti lagu Basah basah basah, ah ah ah. Bermain sepak bola dengan kondisi hujan. Tak disangka, saya mencetak goal dari tengah lapangan, layaknya tendangan super kartun Tsubasa Ozora [lebay lagi]. Maklum masih manusia, saya sedikit sombong, dan akhirnya malah tim saya yang kalah. Dari keterangan yang saya tahu, Afif mencetak delapan goal. Ketika sedang rehat, saya melihat beberapa anak menonton dari sisi pinggir lapangan. Jiwa dokumentasi saya bangkit, dan meminta anak-anak tersebut untuk di-capture. Coba tebak, ternyata salah satu dari mereka memegang batang rokok dengan asap yang bergoyang liar. Saya hendak memotretnya, tetapi dia enggan seraya berkata, "Emoh, nanti mbok laporin Presiden," katanya [cek kamus bahasa Jawa]. Setelah saya yakinkan bahwa saya tidak akan melaporkan presiden atau siapa pun juga, dia pun mengiyakan untuk dipotret. Heran juga, masih kecil sudah merokok, buang-buang duit, bikin sakit lagi. Ibarat kejatuhan durian, langsung kejatuhan gajah juga. Pukul 13.30 WIB kami pulang dari lapangan bola dengan badan yang kotor dan becek. Sesampai rumah saya ditanyai Ibu, untung dia tidak marah, dia menyuruh saya makan siang. Dilanjut dengan menimba sumur sendiri, yang artinya adalah kali pertama saya menimba air dari sumur. Rasanya cukup menyenangkan, tetapi sedikit menyiksa karena berat. Yang penting saya dapat menerapkan pelajaran IPA saya, yaitu katrol. Saat menimba sumur, cuaca hujan. Saya seperti menjadi pejuang cinta di kala hujan. Dari kejauhan, Gilang memanggil saya untuk mandi di rumahnya, saya menolak, ternyata benar bahwa saya pejuang cinta sejati. Mandi, keramas, dan sikat gigi. Wangi, memakai hand body, dan rexona. Sudah bagaikan pangeran keluar dari istana, saya pun bersiap untuk sharing kedua di pondok. Karena teman-teman berada di warung seberang, saya pun menghampiri. Mereka memesan mie instan, saya tergoda, dan hasilnya saya juga ikut memesan. Satu porsi mie goreng dan telor. Ya, dan akhirnya, salah pesanan. Mbak penjual mie malah memberikan saya dua porsi mie. Karena merasa tidak enak untuk complain, saya mengiyakan. Cahya datang, dan ingin makan juga. Menunggu lagi. Saat itu, Anan sudah tidak ada, karena dia pergi ke rumah teman yang lain yang tidak saya ketahui untuk meminta ketan. Karena dia pelit, saya tahu, saya tidak akan dibagi. Lanjut kami pun sharing di pondok. Hidangan sore di pondok saat itu adalah yang paling enak di antara yang lain. Onde-onde dan gorengan enak yang saya lupa namanya. Serta teh yang masih panas, yang untungnya saya masih kebagian, terima kasih Tuhan. Pulang setelah maghrib, dengan kondisi listrik padam. Semua gelap, semua gelap, sangat gelap, dan mengerikan. Ketika listrik padam, langit akan berwarna lebih terang. Saya makan malam di rumah dengan gelap-gelapan ditemani oleh Bapak. Akbar ternyata sudah makan di warung, tetapi saya tetap memaksanya untuk makan lagi di rumah, demi membuat hati Bapak senang. Listrik padam, nyali kecil, rencana untuk main, batal, langsung pelarian. Saya bermain ke depan rumah, lebih tepat lagi ke rumah Gilang dan Fahreza. Sebelumnya, kami berencana bermain ke rumah Helmy. Tetapi karena sama-sama tidak berani karena jalan gelap, kami hanya berbincang di depan rumah. Cahya datang, dan berganti kami berbincang di rumahnya, atas permintaan Naufa. Nyaman sekali di rumah Cahya, masih banyak orang di rumah, tidak seperti di kediaman Bapak Sasmito [rumah saya], yang kadang seringkali menghilang, si Bapak yang sering ke Masjid, dan Ibu yang selalu berada di dapur, sungguh mengerikan. Kejadian aneh lagi, Akbar ikut menemani saya bermain, tidak seperti sebelumnya, yang selalu enggan keluar rumah. Pulang jam sembilan malam, langsung ke kamar karena gelap, dan tidur. Oh iya, handphone saya low battery, sehingga mati, jadi tidak dapat menelepon seseorang. Padahal sudah janjian, padahal sudah membeli pulsa, ya sudahlah. Itulah berakhirnya hari kedua.
Third day,
Seperti hari sebelumnya, dingin dan masih dingin. Kedinginan dan mengapa tambah dingin. Tetapi ada misi berbeda pada hari itu, saya harus bekerja, percuma mengikuti live in jika akhirnya hanya berdiam diri di rumah. Untungnya, Helmy bermain ke depan rumah, saya langsung membuntuti dan berniat ikut kerja bersama orang tuanya. Helmy mengiyakan, tetapi dia ingin ke rumah Anan terlebih dahulu. Anan bangun, Winson bangun, Rico masih tidur, kami langsung pergi ke rumah Helmy, dengan keadaan Rico masih tertidur. Di rumah Helmy, disuguhi makanan yang sepertinya tidak akan saya nikmati di rumah sendiri. Ayam goreng, mie instan, telor dadar, dan tahu bacem, enak sekali. Saking enaknya, saya langsung buang air besar usai makan. Baru saja keluar dari WC, Afif menelepon dan hendak menyusul bersama Rico yang ternyata sudah bangun. Semua sudah berkumpul [Helmy, Reza, Hudi, Afif, Rico, Winson, Anan, Afif, dan saya], lanjut bekerja. Bersama dengan Bapaknya Helmy, berjalan menuju sawah/kebun. Kami menuju kebun jambu dan kebun jagung. Tugas kami adalah membungkus (mbrangsangi) jambu. Caranya adalah dengan:
1. Bila ada mahkotanya, lepas dulu.
2. Bila ada daun menggangu, lepas.
3. Ambil plastik.
4. Jambu tadi diplastik, ikat.
5. Itulah teknik mbrangsangi jambu.
Sebenarnya, kami harus membantu orang tua, tetapi nyatanya, kami hanya duduk-duduk. Akhirnya kami diberi kesempatan untuk mengambil jagung di kebun. Saya langsung teringat game Harvest Moon, yang biasanya memanen jagung dan dijual dengan harga 60G. Sepertinya gampang sekali cara bertani di video game, berbeda dengan aslinya, sulit sangat sulit. Bapak mengambil korek, menggunting sandal, mengambil kayu, dan membakarnya. Api sudah berkobar, jagung kami bakar. Nabdha dan Puguh menyusul kami ke sawah. Karena laki-laki, karena tidak mengerti caranya, dan karena takut panas, jagung yang kami bakar tidak berhasil dengan sempurna. Ada yang masih keras, ada yang terlalu gosong, tetapi semua kami makan. Kami menghabiskan waktu cukup lama di gubuk sambil menikmati jagung. Sayang, Reza dan Puguh pulang duluan. Candaan kampung, beberapa anak terpeleset [apalagi Winson yang jatuh dengan sukses tertatap genting gubuk], serta balapan sandal di aliran sungai. Siang hari kami pulang dan beristirahat. Saya tertidur di rumah cukup lama, sekitar satu setengah jam. Terbangun dari tidur, dan mandi sore. Usai mandi, terdapat singkong goreng dan teh di meja, Bapak Sasmito menyuruh saya untuk memakannya. Di luar rumah, ternyata ada Tamara yang membeli Tahu Gimbal. Dasar dia suka makan, badannya jadi besar. Karena semua siswa sudah keluar dan berangkat ke pondok untuk sharing, saya pun ikut ke pondok bersama Akbar. Ini adalah sharing terakhir kami di desa. Suguhan snack pun tampak berbeda. Ada tiga macam, saya lupa semua, yang jelas, ada seperti serabi berisi pisang, yang rasanya enak sekali [yang katanya buatan Christy]. Sepulang sharing, saya mampir ke rumah Gilang. Maksud hati hanya bermain, malah diajak makan. Mie goreng, telor, dan terik tahu sudah siap di meja. Tetapi tidak lupa bagi Gilang, Fahreza, dan Cahya untuk sholat terlebih dulu. Akbar datang dan memanggil saya. Katanya bahwa saya dicari oleh Bapak, jadi saya pun pulang. Di rumah pun saya disuruh makan, jadi ya makan lagi. Padahal di rumah Gilang, saya sudah makan banyak. Tak kuasa untuk menolak, makan lagi. Malam terakhir di desa hanya saya habiskan di rumah Gilang bersama Fahreza dan Akbar. Kami hanya berbincang-bincang. Sampai jam sembilan malam, saya memutuskan untuk pulang karena merasa tidak enak bila pergi keluar rumah terlalu lama. Bapak dan Ibu sudah di rumah, sudah aman. Battery handphone full, tetapi sayang, wanita yang hendak ditelepon, malah tidak dapat dihubungi. Gagal lagi gagal lagi. Tiga malam berturut-turut gagal menelepon seorang wanita. Sebenarnya salah apa saya. Sebelum tertidur saya teringat cerita Bu Tika, jika sebelumnya Pak Faozin terkena musibah. Dia kencing di sembarang tempat, yang ternyata di sekitar kuburan. Malamnya, udara di dalam rumah [desa] terasa panas. Setelah ditelusuri, dapat disimpulkan bahwa itu terjadi karena kencing sembarangan. Takut, gelisah, saya pun tidur. Malam terakhir live in pun terlewati, meski dengan tidur yang tidak nyenyak.
Fourth day,
Hari terakhir saya di desa. Sedih juga meninggalkannya, tetapi kangen juga pada kehidupan di Semarang. Tidak diberikan pilihan, saya harus pulang ke Semarang. Pagi-pagi saya mendapat pencerahan dari Bapak Sasmito. Tiba-tiba dia mengajak saya untuk duduk dan berbincang. Dia juga berpesan pada saya dan Akbar:
1. Orang itu tidak usah melihat kesalahan orang lain, sebelum/lebih baik melihat kesalahan diri sendiri, supaya menjadi orang yang bahagia. Dalam pepatah, "Kuman di seberang lautan kelihatan, sedangkan gajah di pelupuk mata tiada nampak." Pepatah yang lain, "Menepuk air di dulang terpecik muka sendiri," [artinya bahwa jangan menghakimi orang lain, padahal kita sendiri yang seharusnya dihakimi].
2. Uang bisa habis, tetapi ilmu bisa sampai akhir hayat.
3. Jangan menyia-nyiakan waktu.
4. Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.
5. Kalau besar nanti, sudah jadi orang sukses, mampirlah ke sini meskipun Bapak sudah tidak ada.
Beberapa pesan yang sangat berharga, yang keluar dari mulut orang yang beralamat di Rowogandu RT 04/RW 02 ini. Saya pun menyempatkan diri untuk berfoto bersama Bapak/Ibu Sasmito, keluarga yang sangat baik terhadap saya selama live in. Terima kasih.
Usai memberi pesan, saya pun sarapan dan berkemas untuk pulang. Sebelumnya, Anan mengajak saya untuk berpamitan bersama orang tuanya di rumah, ternyata saya malah dimanfaatkan. Saya disuruh memotret dirinya bersama keluarga. Sial sekali orang ini. Setelah semua selesai berpamitan pada orang tua masing-masing, kami pun berangkat ke pondok beserta ditemani beberapa orang tua asuh. Ibu Sasmito ikut mendampingi kami. Dia juga memberi kami oleh-oleh sekardus.
Di pondok, kami menunggu kedatangan bus yang telat dari jadwal seperti biasa. Pada kesempatan itu digunakan untuk kata-kata perpisahan dari pihak SMAN 3 Semarang maupun dari pihak desa. Dari pihak sekolah diwakili oleh Bu Tika, Naufa, dan Nabdha. Sedangkan dari pihak desa diwakili oleh penanggung jawab dan kyai [yang dulu mengantar saya ke rumah sewaktu pertama kali hadir di desa]. Adapun pesan dari kyai yang sempat ber-stand up comedy itu adalah:
1. Dengan duit kita akan sukses, tetapi bukan duit "fulus." Duit itu singkatan dari: doa usaha ikhtiar tawakal, kita butuh Allah yang Maha Kuasa.
2. Harus ingat Allah dalam setiap pekerjaan.
3. Bangun tidur jangan kesiangan. Bangun pagi-pagi akan menyebabkan kesuksesan/mewarisi kekayaan.
4. Belajar sungguh-sungguh.
5. Management waktu.
6. Management relasional. [Dia mencontohkan dari anggota DPR, jadi kalo ingin membuat banggar, harus memerhatikan situasi di Desa Rowogandu].
7. Management transaksional.
8. Mudah-mudahan tidak ada kejadian cinta lokasi yang menimbulkan permusuhuan.
9. Mudah-mudahan perjalanan lancar sampai di tujuan.
10. Tercapai cita-cita.
Tepat sekali ketika obrolan selesai, dan bus datang. Kami memasukkan barang ke bus. Awalnya sempat dihebohkan dengan paniknya Bu Tika karena tas yang berisi laptopnya hilang. Ternyata salah satu siswa telah memasukkannya ke bus, dan dibalas dengan senyuman dari Bu Tika. Kami pun pulang ke Semarang. Perjalanan yang terasa cukup lama. Ditemani dengan pusingnya teman kami, Dana, sampai-sampai harus diberi minyak kayu putih. Di Semarang sudah disambut dengan cuaca panas, berbeda dengan hari sebelumnya yang katanya hujang angin. Kira-kira pukul 11.30 WIB, kami sampai di kampus SMAN 3 Semarang. 
Semoga pengalaman live in ini dapat bermanfaat bagi kehidupan kami ke depan. Terima kasih semua.





Sebelum keberangkatan
Bus kecil ekonomi
Dalam bus
Lakon dan Danang
Sampai di kecamatan
Ini kantornya
SLTP Terbuka
What the hell is government doing?
Kursi guru dan ruang kelasnya
Rumah orang tua asuh
Dalam rumah
Atap
Pintu kamar
Dalam kamar

Dinding kamar
Orang desa mempunyai rasa nasionalisme tinggi
Biasanya dipakai untuk ngaji
Foto wajah Bapak Sasmito
Suguhan pertama
Gorengan dan teh
Ruang makan
Bagian belakang
Jemuran
Baru datang, sudah mecahin vas bunga
Gantungan
Makan
Dapur
Sebelah dapur
Kandang kambing
Kamar mandi
WC
Ayam
Sumur
Pengalaman pertama menimba sumur
Masak air
Sharing
Snack
That is how they grow up
That is how we grow up
Makan
Naruto dulu
Makan
Depan rumah
Depan rumah lagi
Lagi-lagi depan rumah
Mau main
Mau main juga
Pingpong cup di rumahnya Nibras
Penonton kalem
Mereka ternyata juga mau main
Lapangan pertama yang tidak jadi disetubuhi
Lapangan kedua yang lebih bagus, sehinga terjadi persetubuhan
Azmi, Anan, Afif, Danang
Cahya
Usai kehujanan
Jemuran setelah hujan
Penonton
Fajar aka Cino aka Boncel
Nabdha Syagata
Puguh Pramudito
Sangat belia, sudah merokok, butuh bimbingan
Sesudah bermain
Makan
Warung indomie dulu
Sekolah mereka
Makan malam [listrik padam]
Sarapan di rumahnya Helmy
Sebelum berangkat kerja, inilah kami
Boot-nya boleh juga
Mirip berburu
Pangeran cinta
Sawah
Pangeran cinta, mantan palyboy kampus, dan penghibur kelas
Lagi-lagi pangeran cinta
'Mbrangsangi' jambu
Ini dia yang minta di-capture
Jambu ber-mahkota
Bakar jagung
Cuci badan dulu
Butuh angin supaya api tidak mati
Mereka berdua
Hidangan sore
Teman saya, membeli tahu gimbal
Anak kecil
Beribadah dulu biar cakep
Makan
Gaya dulu
Makan
Makan/sarapan terakhir
Me and parent
Me vs dad
Anan cs family
On the way Pondok
Kata-kata terakhir
Kata-kata terakhir [beda pembicara]
Kyai desa
Oleh-oleh dari orang tua asuh
Ternyata makaroni, nangka, dan pete

Comments

Popular posts from this blog

Retreat di Angela Patrick, Bandungan

Halo selamat berkarya! Sudah hampir sebulan tidak  update tulisan di blog ini. Saya akan berbagi cerita mulai dari Retreat yang telah saya jalankan bersama rekan-rekan SMAN 3 Semarang. Jumat, 9 Desember 2011 - Minggu, 11 Desember 2011 Pukul 14.30 seusai pulang sekolah hari Jumat - pukul 14.30 hari Minggu di Bandungan Acara tahunan dari DOC (salah satu subsie di SMAN 3 Semarang) adalah mengadakan retreat di luar lokasi sekolah kami. Biasanya acara tersebut diadakan di Bandungan. Pada tahun 2011 ini dan bersaman dengan pengalaman pertama saya mengikuti retreat bersama SMAN 3 Semarang, diadakan di Rumah Retreat Angela Patrick, Bandungan. Tepatnya berada di belakang Pasar Bandungan. Beginilah ceritanya... Kebetulan pada hari tersebut tidak diadakannya kegiatan belajar mengajar di sekolah, sehingga kami dapat pulang lebih awal dari biasanya. Awalnya saya dan Puguh teman saya belum tahu bila warga sekolah sudah diperbolehkan pulang, sehingga kami izin pada guru Bimbingan Konseling te

My Second Assignment

ANDIKA JATI NUGROHO 140608050 Peter Lind, Flavor Development Specialist Ben & Jerry’s Ice Cream, Waterbury, Vermont Hello. See me again. My name is Andika Jati Nugroho. I’m from G class. I got my second assignment from my teacher, Mrs. Bening. This unit is about “The Most Wanted Jobs in The World”. Luckily, we will discuss about Peter Lind, a flavor development specialist in an ice cream company. Here it is. First. I want to tell you, that I was simply shocked and I am still confused about Mrs. Bening’s system at reading activities. In Senior High School, reading is just a simple thing. We just read. Commonly, the text was fictional. But, Mrs. Bening used another way. The text was based on true story. And, we had to use other sources to find the information of text and think critically at understanding the text.   Let us start into the core. There is an ice cream company named Ben & Jerry’s Ice Cream in Vermont. It is located in North-East of United

PENSAGA 2013 Young Nationalism

Halo semua! Salam 26 Oktober 2013! Lagi-lagi Tuhan menciptakan kenangan baru di pikiran dan hati saya, lewat salah satu acara terbesar di tahun ini. Pentas seni karya SMA saya, SMAN 3 Semarang. Karena lagi tinggi sekali euforianya, sekalian ingin ditulis saja, jadi seperti straight news [katanya] hehe. Semoga saja ini menjadi kenangan saya yang dengan sedikit menarik tertulis di blogspot, hehe. Jadi seperti ini lho, ceritanya. Pensaga 2013. Ini adalah pensi terakhir saya di sekolah menengah atas. Kebetulan juga, saya menjadi panitia inti di situ. Kesempatan yang menyenangkan bukan. Di tahun terakhir, saya berharap besar bisa memberi sesuatu yang tak terlupakan untuk sekolah saya itu. Nah. Awal mula panitia dibentuk dari, jaringan komunikasi via SMS. "#PENSAGA2013, Selamat! Kamu terpilih sebagai panitia inti dari pensaga2013, akan diadakan kumpul perdana pada: Hari/tgl: Sabtu, 5 Januari 2013, pukul: 8.00 am, tempat: depan perpustakaan [eh, akhirnya di